makalah pkn ttg identitas nasional
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Selama ini masyarakat Indonesia
masih bingung dengan identitas bangsanya. Agar dapat memahaminya, pertama-tama
harus dipahami terlebih dulu arti Identitas Nasional Indonesia. Identitas
berarti ciri-ciri, sifat-sifat khas yang melekat pada suatu hal sehingga
menunjukkan suatu keunikkannya serta membedakannya dengan hal-hal lain.
Nasional berasal dari kata nasion yang memiliki arti bangsa, menunjukkan
kesatuan komunitas sosio-kultural tertentu yang memiliki semangat, cita-cita,
tujuan serta ideologi bersama. Jadi, yang dimaksud dengan Identitas Nasional
Indonesia adalah ciri-ciri atau sifat-sifat khas bangsa Indonesia yang
membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia.Uraiannya mencakup
:1.identitas manusia Manusia merupakan makhluk yang multidimensional, paradoksal
dan monopluralistik. Keadaan manusia
yang multidimensional, paradoksal dan sekaligus monopluralistik tersebut akan
mempengaruhi eksistensinya.
Kesimpulan Identitas Nasional
Indonesia adalah sifat-sifat khas bangsa Indonesia yang membedakannya dengan
bangsa-bangsa lain di dunia. Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa,
agama dan pulau-pulau yang dipisahkan oleh lautan. Oleh karena itu, nilai-nilai yang dianut masyarakatnya pun berbeda-beda.
Nilai-nilai tersebut kemudian disatupadukan dan diselaraskan dalam Pancasila.
Nilai-nilai ini penting karena merekalah yang mempengaruhi identitas bangsa.
Oleh sebab itu, nasionalisme dan integrasi nasional sangat penting untuk
ditekankan pada diri setiap warga Indonesia agar bangsa Indonesia tidak kehilangan
identitas.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Apa pengertian Identitas Nasional?
2. Apa saja unsur-unsur Identitas
Nasional?
3. Apa saja faktor-faktor pendukung
kelahiran Idetitas Nasinal?
4. Apa pengertian pancasila sebagai kepribadian
dan Identitas Nasional?
C. TUJUAN
1. Mahasiswa memahami identitas nasional
2. Mahasiswa
dapat memahami realitas masyarakat yang majemuk dan dapat menempatkan diri di
tengah-tengah masyarakat majemuk itu dengan baik
D. MANFAAT
1. Untuk megetahui pengertian Identitas Nasional.
2. Untuk mengetahui unsur-unsur
Identitas Nasional.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor
pendukung kelahiran Identitas Nasional.
4. Untuk mengetahui pengertian
pancasila sebagai kepribadian dan Identitas Nasional.
E. METODE
PENULISAN
Dalam pembuatan makalah ini, kami menggunakan metode searching
di website untuk mencari bahan yang sesuai dengan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Identitas Nasional
Istilah identitas nasional secara
terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara
filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain. Berdasarkan pengertian
yang demikian ini maka setiap bangsa di dunia ini akan memiliki identitas sendiri-sendiri
sesuai dengan keunikan, sifat, ciri-ciri serta karakter dari bangsa tersebut.
Demikian pula hal ini juga sangat ditentukan oleh proses bagaimana bangsa
tersebut terbentuk secara historis. Berdasarkan hakikat pengertian “identitas
nasional” sebagaimana dijelaskan maka identitas nasional suatu bangsa tidak
dapat dipisahkan dengan jati diri suatu bangsa atau yang lebih popular disebut
sebagai kepribadian suatu bangsa.
Jika kepribadian sebagai suatu
identitas dari suatu bangsa, maka persoalannya adalah bagaimana pengertian
suatu bangsa itu. Bangsa pada hakikatnya aalah sekelompok besar manusia yang
mempunyai persamaan nasib dalam proses sejarahnya, sehingga mempunyai persamaan
watak atau karakter yang kuat untuk bersatu dan hidup bersama mendiami suatu
wilayah tertentu sebagai suatu “kesatuan nasional”
B. Faktor-faktor
yang Mendukung Kelahiran Identitas Nasional
Kelahiran identitas nasional suatu
bangsa memilki sifat, ciri khas serta keunikan sendiri-sendiri, yang sangat
ditentukan oleh factor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional
tersebut. Adapun factor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional
bangsa Indonesia meliputi (1) factor objektif, yaitu meliputi factor geografis,
ekologis, dan demografis, (2) factor subjektif, yaitu factor historis, sosial,
politik, dan kebudayaan yang dimilki bangsa Indonesia.
Robert de Ventos mengemukakan teori
tentang munculnya identitas nasional suatu bangsa sebagai hasil interaksi
historis antara empat factor penting, yaitu factor primer, faktor pendorong,
faktor penarik, dan faktor reaktif.
Faktor pertama, mencakup etnisitas,
territorial, bahasa, agama, dan yang sejenisnya. Bagi bangsa Indonesia yang
tersusun atas berbagai macam etnis, bahasa, agama, wilayah serta bahasa daerah,
merupakan suatu kesatuan meskipun berbeda-beda dengan kekhasan masing-masing.
Faktor kedua, meliputi pembangunan
komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan bersenjata modern dan pembangunan
lainnya dalam kehidupan bernegara. Dalam hubungan ini bagu suatu bangsa
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pembangunan negara dan bangsanya
juga merupakan suatu identitas nasional yang dinamis.
Faktor ketiga, meliputi kodifikasi
bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya birokrasi, dan pemantapan sistem
pendidikan nasional. Bagi bangsa Indonesia unsur bahasa telah merupakan bahasa
persatauan dan kesatuan nasional sehingga bahasa Indonesia dipilih sebagai
bahasa resmi negara dan bangsa Indonesia.
Faktor keempat, meliputi penindasan,
dominasi, dan pencarian identitas alternatif melalui memori kolektif rakyat.
Bangsa Indonesia yang hampir tiga setengah abad dikuasai oleh bangsa lain
sangat dominan dalam mewujudkan faktor keempat melalui memori kolektif rakyat
Indonesia.
Faktor-faktor
penting bagi pembentukan bangsa Indonesia sebagai berikut
1. Adanya
persamaan nasib , yaitu penderitaan bersama dibawah penjajahan bangsa asing
lebih kurang selama 350 tahun
2. Adanya keinginan bersama untuk merdeka ,
melepaskan diri dari belenggu penjajahan
3. Adanya kesatuan
tempat tinggal , yaitu wilayah nusantara yang membentang dari Sabang sampai
Merauke
4. Adanya
cita-cita, tujuan dan visi bersama untuk mencapai kemakmuran dan keadilan
sebagai suatu bangsa
C. Unsur-Unsur
Identitas Nasional
Unsur-unsur pembentuk identitas yaitu:
Unsur-unsur pembentuk identitas yaitu:
1. Suku bangsa:
adalah golongan sosial yang khusus yang bersifat askriptif (ada sejak lahir),
yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin. Di Indonesia
terdapat banyak sekali suku bangsa atau kelompok etnis dengan tidak kurang 300
dialeg bangsa.
2. Agama: bangsa Indonesia dikenal
sebagai masyarakat yang agamis. Agama-agama yan tumbuh dan berkembang di
nusantara adalah agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu.
Agama Kong H Cu pada masa orde baru tidak diakui sebagai agama resmi negara. Namun sejak pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid, istilah agama resmi
negara dihapuskan.
3. Kebudayaan: adalah pengetahuan
manusia sebagai makhluk social yang isinya adalah perangkat-perangkat atau
model-model pengetahuan yang secara kolektif digunakan oleh
pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi
dan digunakan sebagi rujukan dan pedoman untuk bertindak (dalam bentuk kelakuan
dan benda-benda kebudayaan) sesuai dengan lingkungan yang dihadapi.
4. Bahasa: merupakan
unsure pendukung Identitas Nasonal yang lain. Bahsa dipahami sebagai system
perlambang yang secara arbiter dientuk atas unsure-unsur ucapan manusia dan
yang digunakan sebgai sarana berinteraksi antar manusia.
Dari unsur-unsur Identitas
Nasional tersebut dapat dirumuskan pembagiannya menjadi 3 bagian sebagai
berikut :
· Identitas
Fundamental, yaitu pancasila merupakan falsafah bangsa, Dasar Negara, dan
Ideologi Negara
· Identitas
Instrumental yang berisi UUD 1945 dan tata perundangannya, Bahasa Indonesia,
Lambang Negara, Bendera Negara, Lagu Kebangsaan “Indonesia Raya”.
· Identitas
Alamiah, yang meliputi Negara kepulauan (Archipelago) dan pluralisme dalam
suku, bahasa, budaya, dan agama, sertakepercayaan.
Menurut
sumber lain ( http://goecities.com/sttintim/jhontitaley.html) disebutkan bahwa:
Satu jati
diri dengan dua identitas:
1. Identitas
Primordial
· Orang dengan
berbagai latar belakang etnik dan budaya: jawab, batak, dayak, bugis, bali,
timo, maluku, dsb.
·
Orang dengan
berbagai latar belakang agama: Islam, Kristen, Khatolik, Hindu, Budha, dan
sebagainya.
2. Identitas Nasional
· Suatu konsep kebangsaan yang tidak pernah ada padanan sebelumnya.
· Perlu diruuskan oleh suku-suku tersebut. Istilah Identitas Nasional secara
terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara
filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa lain.
· Eksistensi suatu bangsa pada era globalisasi yang sangat kuat terutama
karena pengaruh kekuasaan internasional. Menurut Berger dalam The Capitalist
Revolution, era globalisasi dewasa ini, ideology kapitalisme yang akan
menguasai dunia.
D.
Keterkaitan Identitas Nasional
dengan Globalisasi
Globalisasi diartikan sebagai suatu
era atau zaman yang ditandai dengan perubahan tatanan kehidupan dunia akibat
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi sehingga
interaksi manusia nienjadi sempit, serta seolah-olah dunia tanpa ruang. Era
Globalisasi dapat berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya bangsa Indonesia. Era
Globalisasi tersebut mau tidak mau, suka tidak suka telah datang dan menggeser
nilai-nilai yang telah ada. Nilai-nilai tersebut, ada yang bersifat positif ada
pula yang bersifat negatif. Semua ini merupakan ancaman, tantangan, dan
sekaligus sebagai peluang bagi bangsa Indonesia untuk berkreasi dan berinovasi
di segala aspek kehidupan. Di era globalisasi, pergaulan antarbangsa semakin
ketat. Batas antarnegara hampir tidak ada artinya, batas wilayah tidak lagi
menjadi penghalang. Di dalam pergaulan antarbangsa yang semakin kental itu,
akan terjadi proses akulturasi, saling meniru, dan saling mempengaruhi di
antara budaya masing-masing
Konsekuensi
dan implikasinya adalah identitas nasional juga sesuatu yang terbuka, dinamis,
dan dialektis untuk ditafsir dengan diberi makna baru agar tetap relevan dan
funsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat.
Krisis
multidimensi yang kini sedang melanda masyarakat kita menyadarkan bahwa
pelestarian budaya sebagai upaya untuk mengembangkan Identitas Nasional kita
telah ditegaskan sebagai komitmen konstitusional sebagaimana dirumuskan oleh
para pendiri negara kita dalam Pembukaan, khususnya dalam Pasal 32 UUD 1945 beserta
penjelasannya, yaitu : “Pemerintah memajukan Kebudayan Nasional Indonesia“ yang
diberi penjelasan : ” Kebudayan bangsa ialah kebudayaan
yang timbul sebagai buah usaha budaya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan
lama dan asli terdapat ebagi puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh
Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju
ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan
baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya
kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
Indonesia “.
Dengan
demikian secara konstitusional, pengembangan kebudayan untuk membina dan
mengembangkan identitas nasional kita telah diberi dasar dan arahnya, terlepas
dari apa dan bagaimana kebudayaan itu dipahami yang dalam khasanah ilmiah
terdapat tidak kurang dari 166 definisi sebagaimana dinyatakan oleh Kroeber dan
Klukhohn di tahun 1952 Kata "globalisasi" diambil dari kata global,
yang maknanya ialah universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan,
kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari
sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial,
atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan
negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan
baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis,
ekonomi dan budaya masyarakat.
Globalisasi
mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya
aspek budaya. Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang
dianut oleh masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat
terhadap berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan
aspek-aspek kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran.
Aspek-aspek kejiwaan ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa
tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran
orang yang bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan
seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.
Globalisasi
sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya tertentu keseluruh
dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture) telah terlihat
semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini dapat ditelusuri
dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini (
Lucian W. Pye, 1966 ).
Namun,
perkembangan globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20
dengan berkembangnya teknologi komunikasi. Kontak melalui media menggantikan kontak fisik
sebagai sarana utama komunikasi antarbangsa. Perubahan tersebut menjadikan
komunikasi antarbangsa lebih mudah dilakukan, hal ini menyebabkan semakin
cepatnya perkembangan globalisasi kebudayaan.
Ciri
berkembangnya globalisasi kebudayaan
1.
Berkembangnya
pertukaran kebudayaan internasional.
2.
Penyebaran
prinsip multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu
terhadap kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
3.
Berkembangnya
turisme dan pariwisata.
4.
Semakin
banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.
5.
Berkembangnya mode yang berskala global, seperti
pakaian, film dan lain lain.
6.
Bertambah banyaknya event-event berskala global,
seperti Piala Dunia FIFA.
Munculnya
arus globalisme yang dalam hal ini bagi sebuah Negara yang sedang berkembang
akan mengancam eksistensinya sebagai sebuah bangsa. Sebagai bangsa yang masih
dalam tahap berkembang kita memang tidak suka dengan globalisasi tetapi kita
tidak bisa menghindarinya. Globalisasi harus kita jalani ibarat kita menaklukan
seekor kuda liar kita yang berhasil menunggangi kuda tersebut atau kuda
tersebut yang malah menunggangi kita. Mampu tidaknya kita menjawab tantangan
globalisasi adalah bagaimana kita bisa memahami dan malaksanakan Pancasila
dalam setiap kita berpikir dan bertindak.
Persolan
utama Indonesia dalam mengarungi lautan Global ini adalah masih banyaknya
kemiskinan, kebodohan dan kesenjangan sosial yang masih lebar. Dari beberapa
persoalan diatas apabila kita mampu memaknai kembali Pancasila dan kemudian
dimulai dari diri kita masing-masing untuk bisa menjalankan dalam kehidupan
sehari-hari, maka globalisasi akan dapat kita arungi dan keutuhan NKRI masih
bisa terjaga.
E.
Pancasila
sebagai Kepribadian dan Identitas Nasional
Bangsa Indonesia sebagai salah satu
bangsa dari masyarakat internasional, memilki sejarah serta prinsip dalam
hidupnya yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Tatkala bangsa
Indonesia berkembang menujufase nasionalisme modern, diletakanlan
prinsip-prinsip dasar filsafat sebagai suatu asas dalam filsafat hidup
berbangsa dan bernagara. Prinsip-prinsip dasar itu ditemukan oleh para pendiri bangsa
yang diangkat dari filsafat hidup bangsa Indonesia, yang kemudian
diabstraksikan menjadi suatu prinsip dasar filsafat Negara yaitu Pancasila.
Jadi, filsafat suatu bangsa dan Negara berakar pada pandangan hidup yang
bersumber pada kepribadiannya sendiri. Dapat pula dikatakan pula bahwa
pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan Negara Indonesia pada hakikatnya
bersumber kepada nilai-nilai budaya dan keagamaan yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia sebagai kepribadian bangsa. Jadi, filsafat pancasila itu bukan muncul
secara tiba-tiba dan dipaksakan suatu rezim atau penguasa melainkan melalui
suatu historis yang cukup panjang. Sejarah budaya bangsa sebagai akar Identitas
Nasional. Menurut sumber lain :
(http://unisosdem.org.kliping_detail.php/?aid=7329&coid=1&caid=52)Disebutkan
bahwa : kegagalan dalam menjalankan dan medistribusikan output berbagia agenda
pembangnan nasional secaralebih adil akan berdampak negatif pada persatuan dan
kesatuan bangsa. Pada titik inilah semangat
Nasionalisme akan menjadi slah satu elemen utama dalam memperkuat eksistensi
Negara/Bangsa. Study Robert I Rotberg secara eksplisit mengidentifikasikan
salah satu karakteristik penting Negara gagal (failed states) adalah
ketidakmampuan negara mengelola identitas Negara yang tercermin dalam semangat
nasionalisme dalam menyelesaikan berbagai persoalan nasionalnya. Ketidakmampuan
ini dapat memicu intra dan interstatewar secara hamper bersamaan. Penataan,
pengelolaan, bahkan pengembangan nasionalisme dalam identitas nasional, dengan
demikian akan menjadi prasyarat utama bagi upaya menciptakan sebuah Negara kuat
(strong state). Fenomena globalisasi dengan berbagai macam aspeknya seakan
telah meluluhkan batas-batas tradisional antarnegara, menghapus jarak fisik
antar negara bahkan nasionalisme sebuah negara. Alhasil, konflik komunal
menjadi fenomena umum yang terjadi diberbagai belahan dunia, khususnya
negara-negara berkembang. Konflik-konflik serupa juga melanda Indonesia.
Dalam ulang tahunnya yang ke-62,
bangsa Indonesia dihadapkan pada pentingnya menghidupkan kembali identitas
nasional secara nyata dan operatif.Identitas nasional kita terdiri dari empat
elemen yang biasa disebut sebagai konsensus nasional. Konsensus dimaksud adalah
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
dan Bhinneka Tunggal Ika.
Revitalisasi
Pancasila harus dikembalikan pada eksistensi Pancasila sebagai ideologi bangsa
dan negara. Karena ideologi adalah belief system, pedoman hidup dan rumusan
cita-cita atau nilai-nilai (Sergent, 1981), Pancasila tidak perlu direduksi
menjadi slogan sehingga seolah tampak nyata dan personalistik. Slogan seperti
"Membela Pancasila Sampai Mati" atau "Dengan Pancasila Kita
Tegakkan Keadilan" menjadikan Pancasila seolah dikepung ancaman dramatis
atau lebih buruk lagi, hanya dianggap sebatas instrumen tujuan. Akibatnya,
kekecewaan bisa mudah mencuat jika slogan-slogan itu tidak menjadi pantulan
realitas kehidupan masyarakat.
Karena itu,
Pancasila harus dilihat sebagai ideologi, sebagai cita-cita. Maka secara
otomatis akan tertanam pengertian di alam bawah sadar rakyat, pencapaian cita-
cita, seperti kehidupan rakyat yang adil dan makmur, misalnya, harus dilakukan
bertahap. Dengan demikian, kita lebih leluasa untuk merencanakan aneka tindakan
guna mencapai cita-cita itu.
Selain perlunya
penegasan bahwa Pancasila adalah cita-cita, hal penting lain yang dilakukan
untuk merevitalisasi Pancasila dalam tataran ide adalah mencari maskot. Meski
dalam hal ini ada pandangan berbeda karena dengan memeras Pancasila berarti
menggali kubur Pancasila itu sendiri, namun dari sisi strategi kebudayaan
adalah tidak salah jika kita mengikuti alur pikir Soekarno, jika perlu
Pancasila diperas menjadi ekasila, Gotong Royong. Mungkin inilah maskot yang
harus dijadikan dasar strategi kebudayaan guna penerapan Pancasila. Pendeknya,
ketika orang enggan menyebut dan membicarakan Pancasila, Gotong Royong dapat
dijadikan maskot dalam rangka revitalisasi Pancasila.
F.
Keterkaitan Identitas Nasional
dengan Integrasi Nasional Indonesia
Berbagai
peristiwa sejarah di negeri ini telah menunjukkan bahwa hanya persatuan dan
kesatuanlah yang membawa negeri Indonesia ini menjadi negeri yang besar.
Besarnya kerajaan Sriwijaya dan Majapahit tidaklah mengalami proses kejayaan
yang cukup lama, karena pada waktu itu persatuan cenderung dipaksakan melalui
ekspansi perang dengan menundukkan Negara- Negara tetangga.
Sangat
berbeda dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 yang sebelum
proklamasi tersebut telah didasari keinginan kuat dari seluruh elemen bangsa
Indonesia untuk bersatu dengan mewujudkan satu cita-cita yaitu bertanah air
satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia dan menggunakan
bahasa melayu sebagai bahasa persatuan (Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928).
Dilihat dari
banyak ragamnya suku, bangsa, ras, bahasa dan corak budaya yang ada membuat
bangsa ini menjadi rentan pergesekan, oleh karena itu para pendiri Indonesia
telah menciptakan Pancasila sebagai dasar bernegara.
Dilihat dari
bentuknya Pancasila merupakan pengalaman sejarah masa lalu untuk menuju sebuah
cita-cita yang luhur. Pancasila dilambangkan seekor burung Garuda yang mana
burung tersebut dalam kisah pewayangan melambangkan anak yang berjuang mencari
air suci untuk ibunya, sedangkan pita bertuliskan Bhineka Tunggal Ika
berartikan berbeda tetapi tetap satu. Kemudian tergantung di dada burung
tersebut sebuah perisai yang mana biasanya perisai adalah alat untuk menahan
serangan perang pada jaman dulu, jadi kalau diartikan untuk menjaga integritas
bangsa Indonesia baik itu ancaman dari dalam maupun dari luar yaitu dengan
menggunakan perisai yang didalam nya terkandung lima sila.
Dalam pidato
bahasa Inggris di Washington Sukarno telah mendapatkan apresiasi yang luar
biasa dari bangsa Amerika yang mana Sukarno pada waktu itu mengenalkan ideologi
Indonesia yaitu Pancasila. Panca berarti Lima dan sila berarti landasan atau
dasar yang mana dasar pertama Negara Indonesia ini dalah berdasar Ketuhanan,
kedua berdasar Kemanusiaan, ketiga persatuan , dan keempat adalah demokrasi, serta
kelima adalah keadilan social.
Seringkali
bangsa kita ini mengalami disintegrasi dan kemudian bersatu kembali konon kata
beberapa tokoh adalah berkat kesaktian Pancasila. Sampai pemerintah juga
menetapkan hari kesaktian pancasila tanggal 1 Oktober. Hal ini menunjukan bahwa
sebenarnya Pancasila hingga saat ini masih kuat relevansinya bagi sebuah
ideology Negara seperti Indonesia ini.
Untuk itu
dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hakikat identitas asional kita
sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara adalah
Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam berbagai penataan kehidupan kita
dalam arti luas, misalnya dalam Pembukaan beserta UUD kita, sistem pemerintahan
yang diterapkan, nilai-nilai etik, moral, tradisi, bahasa, mitos, ideologi, dan
lain sebagainya yang secara normatif diterapkan di dalam pergaulan, baik dalam
tataran nasional maupun internasional.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sekilas
kata-kata diatas memang membuat tanda tanya besar dalam memaknainya. Beribu-ribu
kemungkinan yang terus melintas dibenak pikiran, untuk menjawab sebuah
pertanyaan yang membahas tentang identitas nasional.Kendatipun, dalam hidup
keseharian yang mencakup suatu negara berdaulat, Indonesia sendiri sudah
menganggap bahwa dirinya memiliki identitas nasional. Identitas nasional
merupakan pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, filsafat pancasila dan
juga sebagai Ideologi Negara sehingga mempunyai kedudukan paling tinggi dalam
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Unsur-unsur dari identitas nasional
adalah Suku Bangsa: gol sosial (askriptif : asal lhr), golongan,umur. Agama :
sistem keyakinan dan kepercayaan. Kebudayaan: pengetahuan manusia sebagai
pedoman nilai,moral, das sein das sollen,dlm kehidupan aktual. Bahasa : Bahasa
Melayu-penghubung (linguafranca). Faktor-faktor kelahiran identitas nasional
adalah Faktor-faktor yang mendukung kelahiran identitas nasional bangsa
Indonesia meliputi faktor subjektif dan factor objektif, Faktor primer,
mencakup etnisitas, territorial, bahasa, agama, dan yang sejenisnya. Faktor
pendorong, meliputi pembangunan komunikasi dan teknologi, lahirnya angkatan
bersenjata modern dan pembanguanan lainnya dalam kehidupan bernegara. Faktor
penarik, mencakup modifikasi bahasa dalam gramatika yang resmi, tumbuhnya
birokrasi, dan pemantapan sistem pendidikan nasional. Faktor reaktif, pada
dasarnya tercakup dalam proses pembentukan identitas nasional bangsa Indonesia
yang telah berkembang dari masa sebelum bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan
dari penjajahan bangsa lain.
B. SARAN
Identitas nasional merupakan suatu
ciri yang dimiliki oleh bangsa kita untuk dapat membedakannya dengan bangsa
lain. Jadi, untuk dapat mempertahankan keunika-keunikan dari bangsa Indonesia
itu sendiri maka kita harus menanamkan akan cinta tanah air yang diwujudkan
dalam bentuk ketaatan dan kepatuhan terhadap atura-aturan yang telah ditetapkan
serta mengamalkan nilai-nilai yang sudah tertera dengan jelas di dalam
pancasila yang dijadikan sebagai falsafah dan dasar hidup bangsa Indonesia.
Dengan keunikan inilah, Indonesia menjadi suatu bangsa yang tidak dapat
disamakan dengan bangsa lain dan itu semua tidak akan pernah lepas dari
tanggung jawab dan perjuangan dari warga Indonesia itu sendiri untuk tetap
menjaga nama baik bangsanya.
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Puji dan
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunianya
kami dapat menyelesaikan makalah “Pendidikan Kewarganegaraan berkaitan dengan
Identitas Nasional dalam Mewujudkan Kepribadian bangsa dan Negara” ini tepat
pada waktu yang telah ditentukan.yang akan digunakan untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan yang diampu oleh Drs.Odang
Hermanto,M.Pd.
kami
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan
makalah ini.Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
membutuhkannya.
Namun
makalah ini masih jauh dari kesempurnaan,segala kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan untuk masa yang akan datang.
Garut, Maret 2011
Penyusun
i
|
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................
DAFTAR ISI ..........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH .............................................
B. RUMUSAN MASALAH ...............................................................
C. TUJUAN .........................................................................................
D. MANFAAT
............................................................................ .......
E. METODE PENULISAN.................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Identitas Nasional .................................................................................
B. Faktor-faktor yang Mendukung Kelahiran
Identitas Nasional ...................................................................................................
C. Unsur-Unsur Identitas Nasional .............................................................................
D. Keterkaitan Identitas Nasional dengan Globalisasi
................................................
E. Pancasila sebagai Kepribadian dan Identitas
Nasional ...........................................
F.
Keterkaitan Identitas
Nasional dengan Integrasi
Nasional Indonesia ..................................................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................................
B.
iI
|
Saran-saran
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................
ii
|
PENDIDIKAN
KEWARGANEGARAAN BERKAITAN DENGAN IDENTITAS NASIONAL DALAM MEWUJUDKAN
KEPRIBADIAN BANGSA DAN NEGARA
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Pendidikan Kewarganegaraan yang
diampu oleh Drs.Odang Hermanto,M.Pd.
Disusun Oleh:
Kelompok : 1
Nama anggota:
1. Yuyus Susilawati 10511102
2. Devi Sukma Selpiandi 10511126
3. Chitra Suprabawati 10511132
4. Ayi Nuhsin 10511133
5. Isma Hadiyanti 10512009
JURUSAN
MATEMATIKA
SEKOLAH TINGGI
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) GARUT
2011
IDENTITAS NASIONAL
Selama ini
masyarakat Indonesia masih bingung dengan identitasbangsanya. Agar dapat
memahaminya, pertama-tama harus dipahami terlebih dulu arti Identitas Nasional
Indonesia. Identitas berarti ciri-ciri,sifat-sifat khas yang melekat pada suatu
hal sehingga menunjukkan suatu keunikkannya serta membedakannya dengan hal-hal
lain. Nasional berasal dari kata nasion yang memiliki arti bangsa, menunjukkan
kesatuan komunitas sosio-kultural tertentu yang memiliki semangat, cita-cita,
tujuan serta ideologi bersama. Jadi, yang dimaksud dengan Identitas Nasional
Indonesia adalah ciri-ciri atau sifat-sifat khas bangsa Indonesia yang
membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia.Uraiannya mencakup
:1.identitas manusia Manusia merupakan makhluk yang multidimensional, paradoksal
dan monopluralistik. Keadaan manusia yang multidimensional, paradoksal dan
sekaligus monopluralistik tersebut akan mempengaruhi eksistensinya. Eksistensi
manusia selain dipengaruhi keadaan tersebut juga dipengaruhi oleh nilai-nilai
yang dianutnya atau pedoman hidupnya. Pada akhirnya yang menentukan identitas
manusia baik secara individu maupun kolektif adalah perpaduan antara
keunikan-keunikan yang ada pada dirinya dengan implementasi nilai-nilai yang
dianutnya.2.identitas nasionalIdentitas nasional Indonesia bersifat pluralistik
(ada keanekaragaman) baik menyangkut sosiokultural atau religiositas. -
Identitas fundamental/ ideal = Pancasila yang merupakan falsafah bangsa.-
Identitas instrumental = identitas sebagai alat untuk menciptakan Indonesia yang
dicita-citakan. Alatnya berupa UUD 1945, lambang negara, bahasa Indonesia, dan
lagu kebangsaan.- Identitas religiusitas = Indonesia pluralistik dalam agama
dan kepercayaan.- Identitas sosiokultural = Indonesia pluralistik dalam suku
dan budaya.- Identitas alamiah = Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar
di dunia.3.Nasionalisme IndonesiaNasionalime merupakan situasi kejiwaan dimana
kesetiaan seseorang secara total diabdikan langsung kepada negara bangsa.
Nasionalisme sangat efektif sebagai alat merebut kemerdekaan dari kolonial.
Nasionalisme menurut Soekarno adalah bukan yang berwatak chauvinisme, bersifat
toleran, bercorak ketimuran, hendaknya dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila.4.
Integratis NasionalMenurut Mahfud M.D integrai nasional adalah pernyataan
bagian-bagian yang berbeda dari suatu masayarakat menjadi suatu keseluruhan
yang lebih untuh , secara sederhana memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang
banyak jumlahnya menjadi suatu bangsa. Untuk mewujudkan integrasi nasional
diperlukan keadilan, kebijaksanaan yang diterapkan oleh pemerintah dengan tidak
membersakan SAR. Ini perlu dikembangkan karena pada hakekatnya integrasi
nasional menunjukkan tingkat kuatnya kesatuan dan persatuan
bangsa.KesimpulanIdentitas Nasional Indonesia adalah sifat-sifat khas bangsa
Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Indonesia
terdiri dari berbagai macam suku bangsa, agama dan pulau-pulau yang dipisahkan
oleh lautan. Oleh karena itu, nilai-nilai yang dianut masyarakatnya pun
berbeda-beda. Nilai-nilai tersebut kemudian disatupadukan dan diselaraskan
dalam Pancasila. Nilai-nilai ini penting karena merekalah yang mempengaruhi
identitas bangsa. Oleh sebab itu, nasionalisme dan integrasi nasional sangat
penting untuk ditekankan pada diri setiap warga Indonesia agar bangsa Indonesia
tidak kehilangan identitas.
Unsur-Unsur Pembentuk Identitas Nasional1. Suku Bangsa
Suku bangsa ialah golongan social yang khusus bersifat askriptif (ada sejak lahir) yang sama coraknya dengan golongan umur dan jenis kelamin di Indonesia, terdapat banyak sekali suku bangsa atau kelompok etnis dengan tidak kurang dari 300 dialek bangsa populasi penduduk Indonesia. Saat ini di perkirakan mencapai 210 juta dari jumlah tersebut di perkirakan separuhnya beretnis jawa. Sisanya etnis-etnis yang mendiamai kepulauan di luar jawa seperti suku makassar bugis (3,86%), batak (2,04%), Bali (1,88%), lombok (1.66%), Aceh (1,4%) dan suku-suku lainnya.mereka mendiami daerah-daerah tertentu sehingga mereka dapat di kenal dari daerah mana asalnya.
2. Agama
Bangsa Indonesia di kenal dengan bangsa yang agamis, agama-agama yang tumbuh dan berkembang di nusantara adalah islam. Kristen, khatolik, hindu, budha, dan kong hu cu ,Agama kong hu cu pada awalnya diakui sebagai agama resmi bangsa, tetapi sejak Abdurahhman wahid jadi presiden ,istilah agama resmi dihapuskan.
Sedangkan menurur kamus besar bahasa Indonesia, agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta manusia dengan lingkungannya.
3. Kebudayaan
Kebudayaan adalah Pengetahuan manusia sebagai mahluk social yang isinya adalah perangkat-perangkat atau model-model pengetahuanyang secara kolektif digunakan oleh pendukung-pendukungnya untuk menafsirkan dan memahami lingkungan yang dihadapi dan digunakan sebagai rujukan atau sebagai pedoman untuk bertindak sesuai dengan lingkungan yang dihadapi .
Intinya adalah kebudayaan merupakan patokan dari nilai-nilai etika dan moral ,baik yang tergolong ideal atau yang seharusnya, maupun yang operasional dan actual didalam kehidupan sehari-hari (ethos).
4. Bahasa
Bahasa merupakan unsur pendukung identitas nasional yang lain .Bahasa dipandang sebagai system perlambang yang secara arbiter dibentuk atas unsur-unsur bunyi maupun ucapan manusia dan juga digunakan sebagai sarana berinterinteraksi antar manusia. Baik secara lisan, tulisan ataupun gerakan (isyarat).
BUDAYA
BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK INDONESIA Ditulis pada 3 June 2010
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara dengan kondisi
masyarakat yang sangat heterogen dengan kurang lebih 300 suku bangsa (etnik).
Heteroginitas masyarakat yang sangat besar ini memiliki sistem nilai dan norma
budaya masing-masing. Keunikan kebudayaan, yang kebudayaan itu biasanya menjadi
acuan berpikir dan pegangan bertindak, sangat berpengaruh pada sikap hidup dan
pola perilaku dalam masyarakat. Kebudayaan memiliki arti yang sangat luas dan
pemaknaannya sangat beragam, serta merupakan sistem simbol yang dipakai manusia
untuk memaknai kehidupan. Sistem simbol berisi orientasi nilai, sudut pandangan
tentang dunia, maupun sistem pengetahuan dan pengalaman kehidupan. Sistem
simbol terekam dalam pikiran yang dapat teraktualisasikan ke dalam bahasa
tutur, tulisan, lukisan, sikap, gerak, dan tingkah laku manusia.
Pemahaman kebudayaan yang sangat beragam tersebut
terjadi karena adanya varian budaya yang disebut dengan kebudayaan lokal.
Kebudayaan lokal lebih merupakan suatu tata nilai yang secara ekslusif dimiliki
oleh masyarakat etnik tertentu, bahkan sampai pada tingkat subetnik. Adanya
variasi dan keanekaragaman budaya akan mewarnai variasi pola perilaku
masyarakat tempat kebudayaan tersebut berlaku. Dalam konteks tersebut, perilaku
individu dalam organisasi juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh varian
lokalitas budaya yang berkembang. Birokrasi, sebagaimana organisasi lainnya
yang tidak dapat lepas dari pengaruh lingkungan budaya, dalam
aktivitasnya juga terlibat secara intensif melalui pola-pola interaksi yang
terbentuk di dalamnya dengan sistem nilai dan budaya lokal. Budaya birokrasi
yang berkembang di suatu daerah tertentu, misalnya, tidak dapat
dilepaskan dari pola budaya lingkungan sosial yang melingkupinya.
Realitas politik di Indonesia membuktikan bahwa sistem
politik yang dikembangkan, terutama pada masa orde baru (Jackson & Pye,
1978), adalah sistem politik yang banyak berbasis pada budaya politik yang
berkembang lebih didominasi oleh kebudayaan jawa. Banyaknya elite politik
nasional yang memegang kekuasaan politik berasal dari suku Jawa
setidak-tidaknya membuktikan kecenderungan tersebut. Demikian pula perilaku
elit birokrasi nasional dalam memberikan arah dan kebijakan-kebijakan nasional
cenderung mengacu pada sistem budaya jawa. Beberapa ilmuwan, bahkan menyatakan
bahwa karakteristik kebudayaan nasional selama rezim orde baru berkuasa
mengalami proses hegemoni kebudayaan jawa. Pada tingkat nasional, kebudayaan
mengalami proses penjawaan (jawanisasi). Hegemoni budaya jawa terhadap
budaya-budaya lokal lainnya tampak terlihat jelas pada upaya diterapkannya
struktur pemerintahan yang mengacu pada karakteristik masyarakat jawa, seperti
politik penyeragaman model pemerintahan desa jawa sehingga menghilangkan sistem
nilai adat dan norma masyarakat setempat.
Pada batas waktu tertentu reaksi terhadap penjawaan
tersebut menampilkan bentuk resistensi berupa penguatan identitas lokal dan
etnik di berbagai daerah di Indonesia. Bentuk resistensi tersebut diwujudkan
dengan berbagai tudingan “penjajahan cultural oleh budaya jawa”.
Penggunaan bahasa jawa kuno dalam istilah-istilah pemerintahan seperti Bina
Graha, Mahaputra, dan Eka Prasetya Pancakarsa semakin menguatkan kesan
penjawaan atau politik jawanisasi dalam kebudayaan nasional. Kondisi kebudayaan
nasional tersebut tidak dapat dilepaskan dari munculnya figure Presiden
Soeharto yang memegang kekuasaan pemerintahan selama lebih dari 32 tahun, yang
berasal dari jawa dengan mengadopsi gaya kepemimpinan model kerajaan jawa.
Melalui penerapan sistem politik sentralistik dan
hegemonik, negara cenderung telah mengembangkan model kebijakan dan sistem
birokrasi pemerintahan yang mengarah pada penyeragaman di hampir semua
aspek kebijakan. Dalam kondisi demikian, variasi dan keanekaragaman
budaya lokal yang mewarnai sistem birokrasi berubah menjadi keseragaman
budaya dengan ciri terjadinya sentralisasi kebijakan, pengambilan
keputusan, ritual, etos kerja, sampai model hubungan birokrasi dengan
masyarakatnya. Penerapan sistem birokrasi yang sentralistik menyebabkan
intervensi birokrasi pusat ke dalam kehidupan masyarakat daerah menjadi sangat
dominan. Dengan kata lain, telah terjadi proses birokratisasi yang efektif
dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat secara nasional.
Sistem sentralisasi telah menempatkan sistem pelayanan
publik yang dikembangkan menjadi sangat birokratis, formalism, dan
berbelit-belit. Kondisi tersebut semakin memperkuat kecenderungan status
birokrat memosisikan diri sebagai penguasa ketika berhadapan dengan masyarakat
sebagai orang yang dilayani. Keadaan tersebut membuat kontrol publik menjadi
lemah karena masyarakat pengguna jasa menganggap aparat birokrasi sebagai
pihak yang paling tahu dan berkepentingan. Pada akhirnya, apa pun yang
dilakukan oleh aparat dianggap wajar dan harus diterima sehingga implikasinya
pelayanan publik menjadi tidak responsive terhadap kebutuhan masyarakat
pengguna jasanya.
Implementasi kebijakan yang bersifat sentralistik dan
penyeragaman tersebut di daerah dilakukan dengan penyusunan sejumlah kebijakan
teknis, yakni dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis (juklak dan
juknis). Penyimpangan dari juklak dan juknis tersebut akan berakibat fatal
karena selalu dianggap sebagai penyimpangan. Penyimpangan dari aturan baku akan
mendatangkan stigma yang tidak menguntungkan bagi birokrat karena mempunyai
konsekuensi terhadap karier mereka pada masa mendatang.
Birokrasi dan aparat di dalamnya terlalu dibebani
upaya untuk menerapkan aturan-aturan terperinci secara ketat sehingga mereka
kehilangan arah mengenai tujuan utama dari kegiatan mereka. Dalam sistem
pelayanan, kecenderungan penguatan pola birokrasi ini dilakukan dengan
cara tetap mempergunakan pada pola acuan yang cenderung mempergunakan
pola-pola baku dan yang telah ditetapkan dari pusat atau dari provinsi. Semua instansi
rata-rata terlihat belum ada upaya untuk menyesuaikan aturan yang
diberlakukan dengan kondisi dan situasi lokal (daerah setempat), bahkan upaya
memodifikasi cara penerapan aturan pun tidak terlihat sama sekali.
Birokrasi terlihat menjadi tidak memiliki visi dan misi yang jelas dalam
menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik.
Budaya birokrasi dapat digambarkan sebagai sebuah
sistem atau seperangkat nilai yang memiliki simbol, orientasi nilai, keyakinan
pengetahuan, dan pengalaman kehidupan yang terinternalisasi ke dalam pikiran.
Seperangkat nilai tersebut diaktualisasikan dalam sikap, tingkah laku, dan
perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota dari sebuah organisasi yang
dinamakan birokrasi. Setiap aspek dalam kehidupan organisasi birokrasi selalu
bersinggungan dengan aspek budaya masyarakat setempat. Birokrasi sebagaimana
organisasi lainnya, dalam setiap dinamika yang terjadi di dalamnya, selalu
memiliki korelasi dengan lingkungan eksternal. Karakter dan model birokrasi
yang selama ini berkembang di Indonesia pada hakikatnya merupakan salah satu
bentuk interaksi yang terjalin dengan lingkungan, baik yang menyangkut aspek
politik, budaya, sosial, maupun ekonomi.
Pembahasan
Paternalisme; sebuah pengaruh sistem kerajaan
Penerapan konsep birokrasi modern di Indonesia telah
dimulai semenjak zaman penjajahan belanda. Birokrasi pada awalnya dikembangkan
oleh pemerintah kolonial Belanda dengan maksud untuk mengefektifkan jalannya
pemerintahan kolonial di Indonesia. Pada saat itu pengangkatan pegawai
birokrasi ialah untuk mengisi beberapa jabatan birokrasi pada tingkat menengah
ke bawah, yang banyak direkrut dari kalangan pribumi. Kaum pribumi yang
dijadikan birokrat merupakan kelompok dalam masyarakat yang tergolong pada
strata sosial atas, biasanya dari kalangan keturunan bangsawan keraton
(priyayi, ningrat). Sejarah pembentukan birokrasi yang berasal dari kalangan
bangsawan keraton tersebut membawa implikasi pada masuknya pengaruh budaya
tradisional keraton ke dalam sistem nilai dan budaya birokrasi. Sejarah
pembentukan kultur birokrasi tersebut juga memiliki kesamaan karakter, baik
dalam birokrasi yang terdapat di jawa maupun di hampir seluruh daerah di
Indonesia.
Menurut Geertz (1986), sejak zaman penjajahan kolonial
Belanda sistem pemerintahan yang dianut adalah pemerintahan tidak langsung.
Pemerintahan kolonial Belanda dalam memerintah rakyat di negara jajahannya
melalui perantaraan kelas atau elite birokrat lokal. Elite birokrasi lokal
tersebut digunakan dengan pertimbangan latar belakang kultur keraton yang masih
dimilikinya sehingga diharapkan dapat secara efektif memberikan pengaruh pada
efektivitas dan kontrol atas jalannya berbagai kebijakan dari pemerintah
kolonial. Pemanfaatan elite politik lokal ke dalam birokrasi kolonial erat kaitannya
dengan tujuan politik untuk tetap menjaga loyalitas mereka kepada pemerintahan
kolonial Belanda.
Sistem pemerintahan yang diciptakan oleh pemerintah
kolonial tersebut tidak dapat dilepaskan dari konstelasi sosial politik yang
terbentuk dalam masyarakat pada saat itu. Keraton dan budayanya masih menjadi
sentral kehidupan masyarakat, seperti terjadi di jawa melalui keraton
Yogyakarta dan Surakarta, penganutnya masih mengembangkan nilai-nilai
aristokratik yang sangat diagungkan oleh masyarakat. Masyarakat strata bawah
diluar keraton dianggap masih mengikuti norma budaya kasar. Hubungan
antarkeduanya bersifat asimetris, paternalistic, dan personal. Dengan
menggunakan istilah yang dipakai Umar Kayam dan Koentjaraningrat, Geertz
mengelompokkan keduanya dengan sebutan “priyayi dan wong cilik”. Dalam konteks
masyarakat yang seperti ini birokrasi di Indonesia dikembangkan sehingga
membentuk hubungan paternalistic yang bersifat informal dan sangat pribadi.
Walupun sejarah terbentuknya budaya birokrasi antara
satu daerah dengan daerah lainnya mempunyai lingkungan dan kronologi yang
berbeda-beda, adanya pengaruh budaya tradisional kerajaan pada tiap-tiap
daerah tersebut memiliki kesamaan, yaitu diadopsinya sistem budaya keraton ke
dalam sistem birokrasi pemerintahan. Internalisasi nilai-nilai budaya keraton
kedalam birokrasi tersebut memunculkan watak birokrasi yang cenderung
menempatkan dirinya merasa lebih tinggi daripada masyarakat kebanyakan. Pada
masyarakat jawa misalnya, orang jawa mudah terkesan oleh status kebangsawanan,
keterpelajaran, dan kekayaan. Orang berketurunan ningrat, bergelar sarjana, dan
berharta melimpah akan lebih dihormati di masyarakat. Oleh karena itu, orang
cenderung akan mengajar symbol status yang melekat pada dirinya. Walaupun tidak
dapat meraih semuanya, paling tidak diraih salah satu diantara beberapa unsur
tersebut agar mendapat penghormatan dari masyarakat sekelilingnya. Birokrasi
dipandang merupakan salah satu wahana sosial yang dapat mengangkat simbol
berupa prestise sosial yang tinggi di masyarakat. Banyak masyarakat di jawa
yang sampai saat ini masih beranggapan bahwa menjadi pegawai negeri dapat
mengangkat citra dan gengsi mereka di masyarakat.
Demikian pula halnya yang terjadi di Sulawesi Selatan,
dalam struktur sosial Bugis , orang yang biasanya dihargai dan dianggap
memiliki status yang tinggi adalah mereka yang memiliki gelar bangsawan,
seperangkat, memiliki jabatan dalam pemerintahan, dan mempunyai tingkat
sosial ekonomi yang tinggi. Setiap individu berusaha mengekspresikan dirinya
seperti apa yang dituntut oleh norma budaya setempat yang berlaku. Salah satu
upaya untuk memenuhi nilai-nilai tersebut adalah dengan menjadi pegawai negeri.
Lingkungan birokrasi dianggap merupakan tempat seperangkat simbol-simbol budaya
politik, seperti kekuasaan, kontrl, penguasaan sumber daya, sampai dengan
prestise keluarga maupun pribadi dengan mudah dapat diekspresikan.
Sistem nilai dan norma budaya yang dipakai dalam
sistem birokrasi di Indonesia adalah menggunakan standar ganda. Pada satu sisi
adanya keinginan birokrais untuk berperilaku layaknya sebagai seorang priyayi
yang berkuasa yang harus dilayani, pada sisi lain birokrasi juga berfungsi
sebagai pelayan yang harus mengetahui kebutuhan masyarakat yang dilayaninya.
Terjadinya dualism orientasi nilai yang berkembang di dalam sistem birokrasi
telah memberikan dampak berupa munculnya sikap yang ambivalensi. Birokrasi
Indonesia bersifat ambivalen karena tidak ada pemisahan antara kepentingan
formal kedinasan dengan kepentingan pribadi. Realitas birokrasi ini akan
melahirkan gaya hidup feodal dalam birokrasi yang mempengaruhi perlakuan
birokrasi terhadap rakyatnya.
Birokrasi seharusnya lebih ditempatkan sebagai penjaga
aturan main yang disepekati lewat proses demokrasi. Oleh karena itu, birokrasi
seharusnya bersifat neutral, bersih dan professional. Namun dalam realitasnya,
birokrasi cenderung kurang mampu membedakan antara kepentingan privat dengan
kepentingan publik. Kepentingan privat sering kali justru lebih dominan dan
dimenangkan daripada kepentingan publik yang menyangkut kepentingan orang
banyak. Feodalisme, dalam bentuk sikap dan orientasi vertikal yang diterapkan
di daam kehidupan birokrasi, telah menyebabkan semakin tertindasnya masyarakat
oleh sistem kekuasaan birokrasi. Masyarakat menjadi tidak mempunyai kesempatan
untuk menentukan nasibnya dan mengekspresikan pendapatnya kepada birokrasi.
Publik menjadi apatis yang terlihat dari tidak adanya keberanian untuk
mengemukakan pendapatnya, terlebih dalam melakukan kritik terhadap berbagai kebijakan
birokrasi.
Sifat budaya dualism dalam birokrasi tercermin dalam
memberikan pelayanan publik, yang birokrasi itu memiliki orientasi nilai yang
berbeda dan saling bertentangan. Pada satu sisi, birokrasi dituntut harus loyal
kepada pimpinan melalui prinsip loyalitas yang justru terlihat lebih
mendominasi orientasi birokrasi. Pada sisi lain, birokrasi diharuskan untuk
mengaktualisasikan prinsip abdi masyarakat, yakni sebagai pemberi pelayanan
kepada masyarakat yang harus mementingkan masyarakat yang dilayaninya.
Pola dualism tersebut telah menyebabkan setiap aparat birokrasi berusaha
berlomba-lomba menaikkan harga diri untuk mencari status, kehormatan, dan
kemuliaan diantara sesama rekan kerja, kelompok, maupun masyarakat.
Budaya birokrasi Indonesia sebagai bagian dari budaya
politik merupakan manifestasi sistem kepercayaan nilai-nilai yang dihayati,
sikap, dan perilaku yang terefleksikan ke dalam orientasi birokrasi terhadap
masyarakat dan lingkungannya. Budaya birokrasi di Indonesia yang merupakan penggabungan
nilai-nilai tradisional dan modern tercermin secara nyata dalam
perilaku aparat birokrasinya. Oleh karena itu, birokrasi Indonesia lebih
mencerminkan pencampuran antara karakteristik birokrasi Weberian dengan
karakteristik birokrasi yang berakar pada budaya lokal. Budaya birokrasi
seperti ini memberikan peluang pada munculnya sikap dan perilaku paternalistic
yang merugikan kepentingan masyarakat secara luas.
Corak paternalistic birokrasi di Indonesia lebih
mencerminkan hubungan bapak dan anak (bapakisme). Hubungan bapakisme ini lebih
halus dibandingkan dengan hubungan patron klien. Guna memperkuat gambaran ini
Mulder (1985) menunjukkan bahwa posisi seorang bawahan dan atasan disamakan
dengan posisi hubungan antara seorang anak dengan bapaknya dalam konsep
jawa. Seorang anak harus menghormati bapaknya, yang secara praktis
termanifestasi dalam perasaan sungkan dan berbahasa halus (kromo) dalam
berbicara dengan bapak. Hubungan antara orang tua dengan merupakan
hubungan superior dan inferior. Anak atau yang inferior harus menghormati
(ngajeni) orang tua atau yang superior. Anak melayani orang tua untuk mencari
perhatian dan orang tua harus dapat memberikan perhatian atau sesuatu
yang lain yang dapat menunjukkan sebuah perhatian. Sistem hidup kekeluargaan di
jawa tergambar dalam hukum adatnya, dalam tatakrama pergaulan antara sesama,
dan masih berpegang pada preferensi sosial, seperti umur, pangkat, jabatan atau
hal-hal yang dianggap menjadi ukuran status dalam masyarakat yang bersangkutan.
Kecenderungan nilai budaya yang sama teradi pula di dua daerah penelitian,
yaitu di Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan.
Pola hubungan paternalistic yang menunjuk pada
hubungan patron klien agak sedikit berbeda dengan pola hubungan bapakisme.
Hubungan patron klien cenderung menekankan pada segi material, sedangkan
hubungan bapakisme di samping memenuhi kebutuhan material, juga cenderung
menekankan pada hubungan yang bersifat nonmaterial. Pada konteks bapakisme,
hubungan yang terjalin meliputi aspek pemenuhan kebutuhan sosial, material,
spiritual, dan emosional. Anak buah (pegawai bawahan) yang memperoleh
perlindungan seperti ini, dengan segala loyalitasnya dan sukarela akan memenuhi
perintah sang bapak. Mereka merasa berutang budi kepada sang bapak sehingga
menimbulkan sikap hormat yang begitu tingi dalam mendalam kepadanya. Bapak
adalah pemimpin yang memberikan pengayoman. Sebaliknya, anak diharapkan dapat
menjadi tulang punggung yang memberikan rasa hormat dan bahkan mungkin bersedia
untuk membela hidup serta kehormatan bapaknya.
Nilai, Tradisi, dan Simbol dalam Birokrasi
Kebudayaan biasanya sarat dengan simbolisme. Dalam
setiap tindakannya seseorang selalu berpegang teguh kepada dua hal, yaitu
pertama, filsafat atau pandangan hidup yang religious dan mistis. Kedua, pada
sikap hidup yang etis dan menjunjung tinggi moral serta derajat hidupnya.
Pandangan hidup akan selalu berkaitan dengan Tuhan yang serba mistis, magis dan
segala kekuatan yang tidak tampak oleh indera manusia (supranatural). Tiap-tiap
unsur dalam kehidupan selalu dikaitkan dengan tindakan simbolis, yang biasanya
banyak dipakai dan diwariskan secara turun temurun kepada generasi penerusnya.
Pada budaya kekuasaan politik tradisional terdapat
keyakinan bahwa pimpinan tidak pernah bersalah atau tidak pernah mau
dipersalahkan. Apa yang pimpinan lakukan telah dianggap benar menurut ukuran
subjektivitas yang mereka pakai. Konstruksi sosial dan budaya demikian merasuk
ke dalam sistem birokrasi di Indonesia, bahkan dikembangkan menjadi pola
interaksi dalam hubungan kerja maupun dalam hubungan dengan masyarakat. Secara
rasional, semakin tinggi jabatan seseorang akan semakin berat tanggung jawab
harus diembannya. Akan tetapi, logika organisasi tersebut tidak selalu dapat
berjalan sesuai dengan logika formal yang berkembang dalam birokrasi pelayanan.
Jika terjadi kesalahan tindakan, aparat bawah yang selalu menjadi tumpuan
kesalahan. Fenomena kultur birokrasi tersebut telah mengimbas pada munculnya
raja-raja kecil pada kelompok birokrasi di tingkat bawah yang memperlakukan
masyarakat sebagai kelompok yang dapat ditekan atau dikambinghitamkan.
Masyarakat seringkali dituduh sebagai pihak yang menyebabkan terjadinya
kelambanan pelayanan, dengan alasan bahwa masyarakat tidak dapat memahami
peraturan dan keinginan birokrasi.
Pada tingkat atas struktur birokrasi, perilaku dan
simbol-simbol yang dipergunakan oleh elite birokrasi diarahkan untuk mencari
dan mempertahankan karakteristik yang menjadi status dan simbol dari kelompok
elite dalam birokrasi. Status simbol yang melekat pada pejabat tinggi
misalnya, tercermin dari penggunaan mobil dinas yang dipakai. Mobils dinas
pejabat birokrasi dicirikan dengan plat nomor berwarna merah dan bernomor
kecil. Mobil dinas yang bernomor plat polisi kecil merefleksikan adanya eksklusivisme
pejabat birokrasi dan mobil dinas tersebut tidak boleh dipergunakan oleh siapa
pun, kecuali oleh pejabat tersebut. Penggunaan simbol sosial oleh birokrasi
tersebut ternyata membawa imbas kepada masyarakat. Banyak anggota masyarakat
yang ingin meniru status simbol tersebut, dengan cara membeli nomor kecil atau
nomor cantik pada mobilnya meksipun harus membayar dengan harga yang lebih
mahal dibandingkan dengan nomor biasa.
Nilai-nilai tradisional yang menjadi ciri khas dari
budaya feudal justru lebih tampak menonjol dalam sistem birokrasi modern yang
ingin diterapkan. Simbol budaya priyayi yang menjadi simbol status dari budaya
feudal lebih banyak diadopsi dan diminati oleh para anggota birokrasi. Di
daerah istimewa Yogyakarta, simbol-simbol kultural tersebut dapat dilihat
pada pemberian gelar kebangsawanan dari keraton kepada pejabat-pejabat
birokrasi yang dianggap berjasa pada pemerintahan. Gelar tersebut, antara lain
adalah Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) untuk tingkatan bupati. Mobil pejabat dan
perabotan lain juga diberi simbol berupa lambang keraton Yogyakarta.
Sistem nilai dan simbol yang berlaku pada pejabat
birokrasi juga tampak pada tempat kerja dan persyaratan yang harus dipenuhi
agar dapat menemui pejabat birokrasi. Secara eksplisit dapat dilihat pada
prosedur yang diatur. Sebelum seseorang dapat menemui pejabat birokrasi, maka
harus mengajukan surat izin, mengisi buku tamu, dan menunggu panggilan untuk
menghadap. Ruang tunggunya pun penuh dengan simbol-simbol kekuasan seseorang
yang ada di dalamnya, seperti seperangkat meja tamu yang eksklusif, patung
burung garuda yang berdiri megah, dan lukisan yang menyiratkan makna
kebangsawanan dan kesakralan. Setelah dapat menemui pejabat birokrasi tersebut,
kesan pertama yang muncul adalah perasaan takut. Hal seperti ini muncul karena
pejabat tersebut cenderung diam, ditambah dengan suasana yang sangat formal
sehingga menimbulkan kesan kaku dan tegang. Implikasi semua ini akan menghambat
kinerja pelayanan publik karena masalah yang dihadapi bawahan dan masyarakat
tidak dapat segera disampaikan pada pimpinan.
Upaya birokrasi untuk membedakan dirinya dengan
masyarakat (exclusive) terlihat pada penggunaan nama sapaan yang diberikan oleh
masyarakat kepada pejabat birokrasi. Di Sulawesi Selatan misalnya, banyak dijumpai
bahwa pejabat birokrasi disapa dengan sebutan karaeng untuk orang Makassar dan
petta atau puang untuk orang Bugis. Sebutan seperti ini merupakan pencerminan
dari peningkatan status sosial aparat birokrasi dalam masyarakat. Terlihat
dengan jelas bahwa menjadi aparat birokrasi dapat menjadikan seseoran mengalami
mobilitas vertikal dalam masyarakat. Sebutan bagi aparat birokrasi seperti ini
biasanya hanya berlaku bagi mereka yang dianggap memiliki kedudukan tinggi di
mata masyarakat.
Sistem nilai tradisi dan simbol dalam birokrasi dapat
dicermati melalui pengamatan penggunaan bahasa antara pemimpin dengan bawahan
dalam berkomunikasi. Di lingkungan Kantor Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta
misalnya, masih dapat dijumpai adanya pejabat teras atau pejabat tinggi daerah
yang dipanggil dengan sebutan “Romo”, buaknnya “Bapak” oleh bawahannya.
Interaksi keduanya sangat hierarchis, bahkan cenderung tertutup. Hal ini
ditandai dengan penggunaan bahasa campuran yang dipakai pada saat
berkomunikasi. Jika atasan atau pejabat berbicara dengan bawahan, cenderung
menggunakan bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa jawa rendah/kasar
(ngoko). Sebaliknya, jika bawahan berbicara dengan atasannya akan menggunakan
bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa jawa halus (kromo inggil).
Nilai dan simbol dalam praktik keseharian birokrasi
diperoleh dari adat dan kebiasaan yang merupakan sistem nilai budaya
feodalisme. Ada rasa enggan atau pekewuh muncul dari pegawai bawahan dan
masyarakat, bahkan disertai rasa hormat yang cenderung agak berlebihan kepada
pejabat birokrasi, seperti gubernur, bupati atau walikota. Dalam kehidupan
birokrasi yang paternalistic, perasaan sungkan riku dan pekewuh masih melekat
dikalangan pegawai bawahan dan masyarakat terhadap pejabat elite birokrasi.
Dalam sistem nilai orang jawa misalnya, orang yang melawan pimpinannya dianggap
sebagai tindakan durhaka atau mbalelo.
Birokrasi di Sumatera Barat memiliki karakteristik
budaya yang serupa dengan birokrasi jawa. Budaya masyarakat Minangkabau menganut
falsafah hidup bahwa setiap individu Minangkabau memiliki status yang sama,
seperti yang terungkap dalam petuah mereka “Tagak samo tinggi, duduk samo
rendah”, (berdiri sama tinggi, duduk sama rendah) sehingga tidak ada sikap yang
saling menguasai.
Prinsip untuk menegakkan harga diri dalam budaya
masyarakat Minangkabau memiliki implikasi pada persaingan yang terus menerus
dalam mencapai penghargaan dari orang lain berupa kemuliaan, popularitas,
kepandaian, dan kekayaan seperti yang dimiliki oleh orang lain. Selain
itu, ada falsafah “malu tak dapat dibagi”, yang menempatkan seorang indivud
tidak hanya berdiri sendiri, tetapi dirinya adalah bagian dari kelompoknya.
Setiap individu disamping menegakkan egonya juga harus membela kepentingan dan
nama baik kelompoknya. Sebagai anggota kelompok setiap individu harus seiyo
sekato (satu kata) dengan anggota kelompok yang lain.
Birokrasi di Sumatera Barat memiliki kecenderungan
pula berlomba-lomba menaikkan harga diri untuk mencari status, kehormatan, dan
kemuliaan dihadapan orang atau kelompok atau suku lain. Salah satu upaya
untuk mencari status, kehormatan dan kemuliaan adalah dalam bentuk jabatan.
Cinta sosial yang kemudian terbentuk menyebabkan pegawai yang memiliki jabatan
tinggi cenderung melihat dirinya sebagai orang yang lebih kuat, lebih kuasa,
dan lebih terhormat. Pola ini semakin diperkuat dengan diterapkannya sistem
sentralistik yang menempatkan pelayanan yang birokratis, formal serta
berbelit-belit dalam kegiatan pemerintahan dan penyelenggaraan pelayanan
publik.
Realitas kultur birokrasi Sumatera Barat
tersebut semakin menyuburkan tumbuhnya kultur kekuasaan bagi mereka yang
menjadi pemimpin dan semakin melemahkan posisi tawar pegawai bawahan sebagai
orang yang dipimpin. Atasan dapat memberikan kontrol kepada pegawai bawahan,
sedangkan pegawai bawahan tidak dapat mengontrol atasannya karena ada perasaan
inferior, seperti kalah terhormat atau kalah berkuasa. Jika kontrol dari pihak pimpinan
dilakukan secara ketat dan berlebihan, dikhawatirkan penyelewengan yang dilakukan
oleh elit birokrasi menjadi semakin tidak terkontrol. Fenomena tersebut sebenarnya yang menyebabkan
terjadinya berbagai tindak sewenang-wenang dari pemimpin terhadap bawahannya.
Pemaknaan kekuasaan dalam perspektif budaya masyarakat
Minangkabau berbeda pemaknaannya pada aspek basis dan pembagian kekuasaan.
Tidak seperti paham kekuasaan jawa yang sentralistik, yang kekuasaan tidak
dapat dibagi, kekuasaan pada budaya Minangkabau lebih terbagi relative baik dan
sifatnya lebih menyebar. Kekuasaan dalam budaya masyarakat Minangkabau tidak
terkonsentrasi di tangan satu orang, melainkan terletak pada komunitas yang
disebut nagari. Nagari merupakan bentuk komunalisme sebagai representasi dari
perwakilan suku-suku yang memiliki otoritas dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut kepentingan bersama.
Simbol dan seperangkat kepercayaan dalam budaya
birokrasi di Sulawesi Selatan juga banyak berbasis pada sistem nilai dan budaya
yang berkembang pada masyarakat setempat. Bagi masyarakat Sulawesi Selatan,
pola sikap dan perilaku orang Bugis Makassar pada dasarnya merefleksikan unsur
budaya yang dikenal oleh masyarakat dengan nama siri (budaya dan perasaan
malu). Dalam kehidupan masyarakat Bugis Makassar, siri merupakan unsur yang
prinsipil. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan
dipertahankan di muka bumi ini selain siri. Bagi orang Bugis Makassar siri
adalah jiwa, harga diri, dan martabat mereka. Demi penegakkan dan pembelaan
terhadap siri yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain,
orang Bugis Makassar bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya
sekalipun.
Di dalam tataran nilai siri selalu diikuti dengan pace
(solidaritas). Menurut Mattulada (1985), pacce adalah semacam daya pendorong
untuk menimbulkan solidaritas yang kokoh. Kelemahan pacce adalah jika telah
muncul rasa kesetiakawanan, persahabatan, dan karena ada hubungan keluarga,
tidak lagi mengindahkan norma adat atau aturan yang berlaku. Kelemahan pacce
akan mencapai titik kulminasi dalam bentuk hubungan ajjoareng (patron-client)
yang diperasionalkan secara emosional, dengan tanpa mengindahkan aturan yang
berlaku. Seseorang yang merasa dirinya joa (pengikut client) akan selalu
berusaha menunjukkan kesetiaannya dalam keadaan apapun dan kapan pun tuannya
(patron) membutuhkannya. Kedua basis kultur tersebut terinternalisasikan ke
dalam sistem dan kultur birokrasi di Sulawesi Selatan dalam
bentuk-bentuk yang dikeal sebagai perilaku korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Nepotisme dan korupsi menjadi fenomena kuat di dalam birokrasi dan masyarakat
karena adanya ikatan solidaritas yang kuat di antar mereka, baik di dalam
lingkup birokrasi maupun dalam konteks hubungan birokrasi dengan masyarakat
yang dilayaninya.
Kultur Birokrasi dalam Kinerja Pelayanan
Budaya birokrasi yang berkembang di suatu daerah
tertentu tidak dapat dilepaskan dari budaya serta lingkungan sosial yang
melingkupinya. Lingkungan sosial masyarakat memiliki sistem norma, sistem
nilai, sistem kepercayan, adat kebiasaan, bahkan pandangan hidup yang telah
dipahami oleh para anggota masyarakatnya sebagai sesuatu yang baik dan benar.
Sistem norma dan nilai tersebut diakui sebagai penuntun atau acuan dalam
bersikap dan bertingkah laku bagi warga masyarakatnya. Oleh karena itu, budaya
masyarakat dan budaya birokrasi merupakan dua hal yang selalu mewarnai
kehidupan anggotanya, hanya penerapannya yang berbeda. Birokrasi dan sistem
yang dikembangkan di dalam secara alamiah akan menjalin interaksi dengan
lingkungan sosial budaya masyarakat tempat birokrasi tersebut beroperasi. Birokrasi
bukan merupakan organisasi yang beroperasi dalam ruang hampa, melainkan selalu
dan secara kontinu terjadi proses tarik menarik sehingga tidak menutup
kemungkinan terjadinya asimilasi dan akulturasi antara birokrasi dengan kultur
masyarakat.
Kultur birokrasi pemerintahan yang seharusnya lebih
menekankan pada pelayanan masyarakat ternyata tidak dapat dilakukan secara
efektif oleh birokrasi di Indonesia. Secara struktural, kondisi tersebut
merupakan implikasi dari sistem politik Order Baru yang telah menempatkan
birokrasi lebih sebagai instrumen politik kekuasaan daripada sebagai agen
pelayanan publik, sedangkan secara kultural, kondisi tersebut lebih disebabkan
akar sejarah cultural feodalistik birokrasi, seperti masih diadopsinya budaya
priyayi yang sangat bersifat paternalistic. Menurut Koentjaraningrat (1987),
sebutan priyayi dalam masyarakat jawa khususnya menunjukkan suatu status
sosial yang sangat tinggi, bahkan cenderung sangat eksklusif. Aktualisasi dari
sistem nilai priyayi (borjuis) membawa efek psikologis pada aparat birokrasi.
Birokrasi beserta aparatnya cenderung mengasumsikan sebagai pihak yang harus
dihormati oleh masyarakat. Birokrasi tidak merawa berkewajiban untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat karena birokrasi bukan sebagai pelayan.
Akan tetapi, justru sebaliknya, masyarakatlah yang harus melayani dan mengerti
keinginan birokrasi.
Corak budaya agraris yang masih dimiliki oleh sebagian
besar masyarakat Indonesia cenderung mengembangkan budaya harmoni sosial dalam
masyarakat. Dalam masyarakat yang masih berbasis pada kultur agraris tersebut,
sentiment komunal lebih menonjol dalam bentuk komitmen untuk selalu menghindari
konflik. Konflik harus dijauhkan dari kehidupan masyarakat karena dapat
mengganggu harmoni sosial. Pola sikap dan perilaku birokrasi dan masyarakat
sampai saat ini terlihat masih terpengaruh pada budaya tersebut. Sikap aparat
birokrasi yang tidak berani melakukan kritik kepada pimpinan atau masyarakat,
yang enggan untuk menuntut haknya atas perlakuan aparat birokrasi yang
merugikan kepentingannya, menunjukkan masih dianutnya corak budaya
agraris-tradisional oleh birokrasi dan masyarakat.
Sentralisme birokrasi telah membentuk pola
pemerintahan yang bersifat hierarkis-birokratis sehingga terkesan sangat kaku
dan menjadi tidak responsive terhadap tuntutan perkembangan dalam masyarakat.
Birokrasi menjadi institusi yang seolah-olah tidak mampu mendengar dan melihat
serta memperhatikan aspirasi masyarakat, bahkan terkesan mengabaikan
kepentingan masyarakat. Birokrasi seolah-olah menjadi kekuatan besar, tanpa ada
kekuatan lain yang mampu mengontrolnya. Sentralisme birokrasi telah menyebabkan
birokrasi menempatkan publik berada di bawah, bukannya ditempatkan sebagai
mitra bagi birokrasi yang terus dikembangkan keberadaannya dalam rangka
pencapaian good governance dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Sentralisme birokrasi telah menyebabkan birokrasi
terjebak dalam pengembangan kultur organisasi yang lebih berorientasi vertikal
daripada kultural horizontal yang lebih berorientasi kepada kepentingan
publik. Sentralisme dalam birokrasi telah menyebabkan terjadinya patologi dalam
bentuk berbagai tindak penyimpangan kekuasaan dan wewenang yang dilakukan
birokrasi (Dwiyanto, 2000). Patologi birokrasi muncul karena norma dan
nilai-nilai yang menjadi acuan bertindak birokrasi lebih berorientasi ke atas,
yaitu pada kepentingan politik kekuasaan, bukannya kepada publik. Berbagai
kebijakan pembangunan pemerintah yang selalu ditentukan oleh pemerintah pusat
menunjukkan kuatnya budaya sentralisme dalam birokrasi. Kondisi tersebut
mengakibatkan birokrasi semakin kurang sensitif terhadap nilai, aspirasi,
kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Birokrasi menjadi kurang fleksibel
sehingga kebijakan yang diterapkan kurang responsive terhadap kondisi
masyarakat daerah yang memiliki masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang
bersifat spesifik.
Bentuk kekuasaan yang sentralistik menimbulkan adanya
kultur birokrasi yang kaku dan berkembanganya fenomena suka atau tidak suka
dalam birokrasi. Birokrasi tidak mampu mengembangkan sistem kerja fleksibel,
bahkan birokrasi tidak mampu mengembangkan semangat kerja sama dalam
menyelengarakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik. Koordinasi menjadi
suatu kegiatan yang sangat sulit dilakukan birokrasi apabila kegiatan pelayanan
publik yang dilakukan melibatkan lintas bidang, seksi, instansi, atau
departemen. Lemahnya pembentukan semangat kerja sama dalam birokrasi
menyebabkan seorang aparat birokrasi tidak dapat atau enggan mengerjakan pekerjaannya
diluar tugas rutinnya. Apabila terdapat pegawai yang tidak masuk kerja karena
berhalangan, pegawai lain tidak dapat menggantikannya sehingga kemacetan
pelayanan sering kali terjadi. Dampak dari kondisi tersebut adalah masyarakat
pengguna jasa pula yang ada akhirnya banyak dirugikan.
Penerapan dan pemahaman juklak dan juknis secara kaku
menyebabkan birokrasi tingkat bawah kurang mampu berinisiatif dalam
mengambil keputusan. Birokrasi yang hirerakis memiliki dampak pada adanya
perasaan takut aparat birokrasi terhadap pimpinan. Pola kepemimpinan dalam
birokrasi lebih menampilkan sosok sebagai penguasa daripada sebagai seorang
manajer. Ketakutan aparat birokrasi untuk melakukan inisiatif dan inovasi
pelayanan erat kaitannya dengan adanya perasaan takut melakukan kesalahan
dan takut akan ditegur oleh atasannya. Oleh karena itu, aparat birokrasi
cenderung berusaha bertindak sesuai dengan pedoman-pedoman yang sudah
ditentukan dan menghindari melakukan diskresi sekalipun hal tersebut
terkadang jelas diperlukan.
Dari semua uraian di atas, sistem nilai dan norma
budaya yang berlaku pada suatu masyarakat sangat mewarnai kehidupan birokrasi.
Elite birokrasi yang menempatkan dirinya lebih tinggi daripada bawahan dan
masyarakat pengguna jasa merupakan kelompok eksklusif yang perlu dihormati dan
dihargai karena merupakan figure yang berkuasa, yang dapat menentukan nasib
orang lain. Budaya birokrasi yang selama ini dikembangkan adalah budaya
yang lebih menekankan pada kekuasaan, bukan pada pelayanan. Fenomena ini
menjadi faktor dominan yang menghambat proses kinerja pelayanan publik.
Demikian juga dengan sistem nilai, norma budaya dan simbol-simbol yang
memperkuat kekuasaan dan posisi aparat birokrasi. Nilai dan simbol yang
diterapkan dalam kehidupan sosial aparat birokrasi lebih menunjukkan fenomena
yang menonjolkan pada status sosial tinggi. Simbol-simbol yang ada dalam
birokrasi memberikan ciri dari kekuasaan seseorang.
Budaya birokrasi yang ada di Sumatera Barat, daerah
Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan pada hakikatnya memiliki persamaan
antara satu dengan lainnya. Persamaan tersebut adalah pandangan tentang
kedudukan aparat birokrasi yang memiliki status sosial lebih tinggi di mata
masyarakat. Penempatan kedudukan aparat yang lebih tinggi tersebut berakibat
pada sikap dan perilaku aparat. Berbagai patologi yang muncul disebabkan
oleh keadaan ini, antara lain, dalam pemberian pelayanan kepada
masyarakat pengguna jasa, petugas cenderung kurang memperhatikan kepentingan
pengguna jasa. Posisi pengguna jasa dalam pelayanan sebenarnya adalah subjek
pelayanan yang artinya pengguna jasa harus dilayani dan diperlakukan dengan
sebaik-baiknya. Namun, tampaknya kondisi yang terjadi adalah sebaliknya yang
posisi pengguna jasa hanyalah objek pelayanan yang tidak memiliki
kewenangan untuk memperoleh pelayanan yang baik. Budaya birokrasi di ketiga
daerah tersebut telah memberikan pengaruh negatif terhadap citra pelayanan
publik di Indonesia yang lambat dan berbelit-belit.
Kesimpulan
- Budaya
birokrasi Indonesia sebagai bagian dari budaya politik merupakan
manifestasi sistem kepercayaan nilai-nilai yang dihayati, sikap, dan
perilaku yang terefleksikan ke dalam orientasi birokrasi terhadap
masyarakat dan lingkungannya. Budaya birokrasi di Indonesia yang merupakan
penggabungan nilai-nilai tradisional dan modern tercermin
secara nyata dalam perilaku aparat birokrasinya. Oleh karena itu,
birokrasi Indonesia lebih mencerminkan pencampuran antara karakteristik
birokrasi Weberian dengan karakteristik birokrasi yang berakar pada budaya
lokal. Budaya birokrasi seperti ini memberikan peluang pada munculnya
sikap dan perilaku paternalistic yang merugikan kepentingan masyarakat
secara luas.
- Nilai-nilai
tradisional yang menjadi ciri khas dari budaya feudal justru lebih tampak
menonjol dalam sistem birokrasi modern yang ingin diterapkan. Simbol
budaya priyayi yang menjadi simbol status dari budaya feudal lebih banyak
diadopsi dan diminati oleh para anggota birokrasi. Di daerah istimewa
Yogyakarta, simbol-simbol kultural tersebut dapat dilihat pada
pemberian gelar kebangsawanan dari keraton kepada pejabat-pejabat
birokrasi yang dianggap berjasa pada pemerintahan. Gelar tersebut, antara
lain adalah Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) untuk tingkatan bupati. Mobil
pejabat dan perabotan lain juga diberi simbol berupa lambang keraton
Yogyakarta.
Batik yang Tak Sekadar Warisan Budaya
Liputan6.com, Jakarta:
Batik, warisan budaya dari Indonesia, merayakan kebesarannya hari ini, 2
Oktober 2012. Ya, Selasa ini kita merayakannya sebagai Hari Batik Nasional.
Pemilihan tanggal ini bertepatan dengan penetapan batik sebagai Warisan
Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi oleh UNESCO pada 2009 silam.
Berbagai perayaan dilakukan oleh masyarakat di Tanah Air. Seperti penggunaan batik oleh masyarakat luas hari ini atau pun lomba membatik seperti yang dilakukan para polisi wanita (polwan) di Taman Bungkul, Surabaya, Jawa Timur, Senin kemarin.
Batik sendiri dianggap lebih dari sekadar buah akal budi masyarakat Indonesia karena sudah menjadi identitas bangsa, melalui ukiran simbol nan unik, warna menawan, dan rancangan tiada dua. Disebutkan dalam situs UNESCO, batik juga berisi kumpulan pola yang mencerminkan berbagai pengaruh bangsa lain. Mulai dari kaligrafi Arab, buket Eropa, burung phoenix Cina, dan burung merak Persia.
"Batik kerap diwariskan dalam keluarga, dari generasi ke generasi. Ukiran batik terjalin dengan identitas bangsa Indonesia," ujar pernyataan tersebut.
Namun, keberadaan batik kini dijejali juga dengan hadirnya batik "asing." Biasanya batik ini berasal dari Cina dengan harga yang lebih murah. Dikatakan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Mari Elka Pangestu, tekstil bercorak batik bukanlah batik. "Memang harganya murah, tapi pada akhirnya adalah bagaimana kita mendidik konsumen," katanya kemarin.
Ancaman lain adalah pengusaha asing yang tak ragu menggelontorkan banyak uang demi mencontoh motif batik Indonesia. Di lain pihak, pengrajin lokal Tanah Air membutuhkan dana karena sulit mengembangkan usaha dengan modal mandiri.
Meski terkesan konservatif, batik menjadi salah satu wakil Indonesia di pentas dunia. Penghargaan terhadapnya bisa terwujud dengan penggunaan batik asli buatan anak bangsa. Jadi, busana batik apa yang Anda kenakan hari ini? Apakah buatan bangsa sendiri atau hasil kreasi bangsa lain yang ikut mengagumi batik? Pilihan ada di tangan Anda.(NatGeo/ADO)
Berbagai perayaan dilakukan oleh masyarakat di Tanah Air. Seperti penggunaan batik oleh masyarakat luas hari ini atau pun lomba membatik seperti yang dilakukan para polisi wanita (polwan) di Taman Bungkul, Surabaya, Jawa Timur, Senin kemarin.
Batik sendiri dianggap lebih dari sekadar buah akal budi masyarakat Indonesia karena sudah menjadi identitas bangsa, melalui ukiran simbol nan unik, warna menawan, dan rancangan tiada dua. Disebutkan dalam situs UNESCO, batik juga berisi kumpulan pola yang mencerminkan berbagai pengaruh bangsa lain. Mulai dari kaligrafi Arab, buket Eropa, burung phoenix Cina, dan burung merak Persia.
"Batik kerap diwariskan dalam keluarga, dari generasi ke generasi. Ukiran batik terjalin dengan identitas bangsa Indonesia," ujar pernyataan tersebut.
Namun, keberadaan batik kini dijejali juga dengan hadirnya batik "asing." Biasanya batik ini berasal dari Cina dengan harga yang lebih murah. Dikatakan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Mari Elka Pangestu, tekstil bercorak batik bukanlah batik. "Memang harganya murah, tapi pada akhirnya adalah bagaimana kita mendidik konsumen," katanya kemarin.
Ancaman lain adalah pengusaha asing yang tak ragu menggelontorkan banyak uang demi mencontoh motif batik Indonesia. Di lain pihak, pengrajin lokal Tanah Air membutuhkan dana karena sulit mengembangkan usaha dengan modal mandiri.
Meski terkesan konservatif, batik menjadi salah satu wakil Indonesia di pentas dunia. Penghargaan terhadapnya bisa terwujud dengan penggunaan batik asli buatan anak bangsa. Jadi, busana batik apa yang Anda kenakan hari ini? Apakah buatan bangsa sendiri atau hasil kreasi bangsa lain yang ikut mengagumi batik? Pilihan ada di tangan Anda.(NatGeo/ADO)
Bukti Kekerasan Polisi Disampaikan ke Komnas HAM
Liputan6.com,
Jakarta: Tim advokasi
mahasiswa mendatangi Komnas HAM, Selasa (3/4), untuk menyerahkan temuan data
dan bukti terkait tindakan penangkapan aparat kepolisian terhadap para
mahasiswa dan penyerbuan di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(YLBHI), Kamis silam.
Sementara
pihak Komnas HAM sendiri akan mengumpulkan data dari semua pelanggaran HAM yang
terjadi belakangan ini terutama yang menyangkut soal aksi kenaikan harga BBM.
Para
mahasiswa menemukan tas milik anggota polisi di kantor YLBHI saat terjadi
pengerebekan mahasiswa yang tergabung dalam Konsolidasi Nasional Mahasiswa
Indonesia (Konami) di kantor YLBHI. Tas tersebut berisi identitas, kartu tanda
pernikhan, kartu anggota, pin Reskrim Polri, serta daftar alamat kantor
kepolisian.
Anggota tim
pencari fakta, Juanforti Silalahi, menduga pembakaran mobil dan aksi kekerasan
hingga berujung penggerebekan di kantor YLBHI dilakukan anggota Polri sendiri.
Penemuan ini berawal saat seniman yang juga anggota tim advokasi Konami, Ratna
Sarumpaet, dan beberapa mahasiswa mengumpulkan barang-barang para mahasiswa
yang diamankan. Di saat itulah mereka menemukan tas berisi identitas yang
diduga milik oknum kepolisian.
Berdasarkan
laporan ini Komnas HAM akan melakukan penyelidikan keterkaitan pelanggaran HAM
terkait aksi unjuk rasa disertai bentrokan antara mahasiswa dan kepolisian.
Sementara
dalam penyelidikan di Polda Metro Jaya para mahasiswa yang diamankan paksa
mengaku mendapat perlakuan keras oleh polisi, salah satunya adalah pembakaran
kulit pinggang dengan menggunakan korek api.
Komnas HAM
sendiri telah memegang data tujuh titik aksi unjuk rasa yang disertai kekerasan
seperti terjadi di Ambon, Ternate, Palopo, Palu, Makassar, Medan, dan Jakarta
tentang pelanggaran HAM yang dilakukan polri semasa aksi penolakan kenaikan
harga BBM. (YUS)
Polisi Periksa Wakil Mendiknas
Liputan6.com, Jakarta:
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Anton Bachrul Alam mengungkapkan,
penyidik Bareskrim Mabes Polri telah memeriksa Wakil Menteri Pendidikan
Nasional Fasli Jalal. Dia diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi
proyek Kemendiknas.
Menurut Anton, Fasli diperiksa terkait kapasitasnya sebagai mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) di Kemendiknas. Kasusnya adalah pengadaan alat belajar diperguruan tinggi pada tahun anggaran 2007.
"Untuk (kasus) Diknas, kemarin Rabu, tanggal 21 September, kami telah memeriksa Prof Dr Fasli Jalal, Wakil Menteri, tapi beliau sebagai saksi. Itu sudah kita lakukan pemeriksaan," ungkap Anton saat ditemui di Kantor Divisi Humas Mabes Polri, Jakarta, Jumat (23/9).
Terkait pemeriksaan tersebut, Anton juga menjelaskan bahwa Bareskrim Mabes Polri telah mengumpulkan bukti-bukti kasus tersebut. "kemudian peralatan-peralatan dan bukti-bukti juga sedang dikumpulkan," tambahnya.
Anton mengaku, bahwa dirinya belum tahu nilai kerugian dalam proyek kasus tersebut. Namun, dari penyelidikan sementara, telah mengarah kepada seorang tersangka. Namun polisi belum bisa menyebutkan namanya lantaran masih akan menguatkan bukti-buktinya terlebih dahulu.
"Kerugian negara juga sedang diaudit, kita belum bisa sampaikan lengkapnya. Memang nanti akan ada tersangkanya tapi memang belum bisa kita sampaikan karena kita akan mencari bukti dulu yang kuat yang banyak," pungkasnya.(ULF)
Menurut Anton, Fasli diperiksa terkait kapasitasnya sebagai mantan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) di Kemendiknas. Kasusnya adalah pengadaan alat belajar diperguruan tinggi pada tahun anggaran 2007.
"Untuk (kasus) Diknas, kemarin Rabu, tanggal 21 September, kami telah memeriksa Prof Dr Fasli Jalal, Wakil Menteri, tapi beliau sebagai saksi. Itu sudah kita lakukan pemeriksaan," ungkap Anton saat ditemui di Kantor Divisi Humas Mabes Polri, Jakarta, Jumat (23/9).
Terkait pemeriksaan tersebut, Anton juga menjelaskan bahwa Bareskrim Mabes Polri telah mengumpulkan bukti-bukti kasus tersebut. "kemudian peralatan-peralatan dan bukti-bukti juga sedang dikumpulkan," tambahnya.
Anton mengaku, bahwa dirinya belum tahu nilai kerugian dalam proyek kasus tersebut. Namun, dari penyelidikan sementara, telah mengarah kepada seorang tersangka. Namun polisi belum bisa menyebutkan namanya lantaran masih akan menguatkan bukti-buktinya terlebih dahulu.
"Kerugian negara juga sedang diaudit, kita belum bisa sampaikan lengkapnya. Memang nanti akan ada tersangkanya tapi memang belum bisa kita sampaikan karena kita akan mencari bukti dulu yang kuat yang banyak," pungkasnya.(ULF)
Tari Pelangi Budaya Bagelen Meriahkan Hardiknas
Citizen6, Purworejo : Upacara
peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2011 dan pencanangan
Pendidikan Karakter di Kabupaten Purworejo dimeriahkan dengan tarian kolosal
Pelangi Budaya Bagelen, Senin (2/5). Sekitar 1.000 lebih penari yang terdiri
dari pelajar SMP, SMA, SMK, dan MA se-Kabuapten Purworejo terlibat dalam acara
tersebut. Tarian tersebut diiringi dengan alat musik tradisional seperti
kentongan dan jidur (bedug).Tarian yang menggambarkan kehidupan masyarakat
pedesaan yang mendukung program atau visi misi Kabupaten Purworejo sebagai
daerah agraris itu hasil kreasi Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) seni
budaya SMP, SMA, SMK dan MA. Meski tarian yang dipentaskan di alun-alun
Purworejo tersebut hanya berdurasi sekitar 20 menit, namun cukup mendapat
sambutan cukup meriah dari para undangan dan masyarakat sekitar.
Sementara itu, Bupati Purworejo Drs, H Mahsun Zain M,Ag saat membacakan sambutan Menteri Pendidikan Nasional menyebutkan, dunia pendidikan itu kompleks, menantang namun sangat mulia. Kompleksitas dan tantangan terus berkembang, seiring dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu kita semua harus secara bersama-sama terus menerus berikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk menanganinya, demi kemuliaan diri, bangsa, negara dan umat manusia. “Disisi lain, kita juga memahami dan menyadari tentang tantangan global dan internal yang sedang kita hadapi, yang mengharuskan kita semua untuk lebih memperkuat jati diri. Identitas dan karakter sebagai bangsa Indonesia,” kata Mahsun Zain.
Masih kata Mahsun Zain, disinilah mengapa pendidikan berbasis karakter dengan segala dimensi dan variasinya menjadi penting dan mutlak. Karakter yang ingin kita bangun bukan hanya berbasis kemulian diri semata, akan tetapi secara bersamaan membangun karakter kemuliaan sebagai bangsa. “Karakter yang akan kita bangun bukan hanya kesantunan, tetapi secara bersamaan kita bangun karakter yang mampu menumbuhkan kepenasaranan intelektual sebagai modal untuk membangun kreativitas dan daya inovasi,” tambah Mahsun Zain. Dalam kesempatan itu juga dilakukan penyerahaan penghargaan dan tropi bagi kepala sekolah, guru, dan siswa berprestasi. Disamping itu juga dilakukan penyerahan beasiswa Jamsotek dan Bumi Putera bagi delapan pelajar berprestasi. (Pengirim: Bangkit
Sementara itu, Bupati Purworejo Drs, H Mahsun Zain M,Ag saat membacakan sambutan Menteri Pendidikan Nasional menyebutkan, dunia pendidikan itu kompleks, menantang namun sangat mulia. Kompleksitas dan tantangan terus berkembang, seiring dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu kita semua harus secara bersama-sama terus menerus berikhtiar dengan sungguh-sungguh untuk menanganinya, demi kemuliaan diri, bangsa, negara dan umat manusia. “Disisi lain, kita juga memahami dan menyadari tentang tantangan global dan internal yang sedang kita hadapi, yang mengharuskan kita semua untuk lebih memperkuat jati diri. Identitas dan karakter sebagai bangsa Indonesia,” kata Mahsun Zain.
Masih kata Mahsun Zain, disinilah mengapa pendidikan berbasis karakter dengan segala dimensi dan variasinya menjadi penting dan mutlak. Karakter yang ingin kita bangun bukan hanya berbasis kemulian diri semata, akan tetapi secara bersamaan membangun karakter kemuliaan sebagai bangsa. “Karakter yang akan kita bangun bukan hanya kesantunan, tetapi secara bersamaan kita bangun karakter yang mampu menumbuhkan kepenasaranan intelektual sebagai modal untuk membangun kreativitas dan daya inovasi,” tambah Mahsun Zain. Dalam kesempatan itu juga dilakukan penyerahaan penghargaan dan tropi bagi kepala sekolah, guru, dan siswa berprestasi. Disamping itu juga dilakukan penyerahan beasiswa Jamsotek dan Bumi Putera bagi delapan pelajar berprestasi. (Pengirim: Bangkit
MAKASSAR - Pengambilan nomor urut pasangan calon Gubernur
dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan yang dilaksanakan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Provinsi di Hotel Sahid Jaya, Makassar, Sabtu (20/10/2012) siang,
berlangsung ricuh.
Kericuhan terjadi di halaman Hotel Sahid Jaya saat kubu pasangan calon Ilham Arief Sirajuddin-Aziz Kahar Mudzakkar dan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu'mang saling ejek.
Beruntung polisi yang berada di tengah kedua massa dapat mengendalikan setuasi sehingga perkelahian tidak terjadi. Situasi mulai aman setelah aparat kepolisian meminta kedua pendukung untuk meninggalkan hotel.
Sementara itu, dalam pengambilan nomor urut, pasangan incumbent, Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu'mang, mendapat nomor urut 2. Sedangkan pasangan Ilham Arief Sirajuddin-Aziz Kahar Mudzakkar mendapat nomor urut 1.
Syharul dan Agus diusung delapan partai, di antaranya Golkar, PDK, PKPI, PDS, PAN dan PPP. Sementara Ilham-Aziz diusung Partai Demokrat dan 10 partai lainnya.
Pasangan lain, Andi Rudiyanto Asapa-Andi Nawir Ang yang diusung Partai Gerindra dan 19 partai nonparlemen, mendapat nomor urut 3. Rencananya, Pilgub Sulsel akan berlangsung pada 22 Januari 2013.
Proses pengundian nomor urut pasangan calon gubernur dan wakil gubernur ini mendapat pengawalan 200 petugas Polrestabes Makassar.
Kericuhan terjadi di halaman Hotel Sahid Jaya saat kubu pasangan calon Ilham Arief Sirajuddin-Aziz Kahar Mudzakkar dan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu'mang saling ejek.
Beruntung polisi yang berada di tengah kedua massa dapat mengendalikan setuasi sehingga perkelahian tidak terjadi. Situasi mulai aman setelah aparat kepolisian meminta kedua pendukung untuk meninggalkan hotel.
Sementara itu, dalam pengambilan nomor urut, pasangan incumbent, Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu'mang, mendapat nomor urut 2. Sedangkan pasangan Ilham Arief Sirajuddin-Aziz Kahar Mudzakkar mendapat nomor urut 1.
Syharul dan Agus diusung delapan partai, di antaranya Golkar, PDK, PKPI, PDS, PAN dan PPP. Sementara Ilham-Aziz diusung Partai Demokrat dan 10 partai lainnya.
Pasangan lain, Andi Rudiyanto Asapa-Andi Nawir Ang yang diusung Partai Gerindra dan 19 partai nonparlemen, mendapat nomor urut 3. Rencananya, Pilgub Sulsel akan berlangsung pada 22 Januari 2013.
Proses pengundian nomor urut pasangan calon gubernur dan wakil gubernur ini mendapat pengawalan 200 petugas Polrestabes Makassar.
JAYAPURA - Warga Jalan Raya Angkasa Pura, Distrik Jayapura
Utara, Kota Jayapura, Papua, digegerkan dengan penemuan sesosok mayat perempuan
tanpa identitas. Perempuan paruh baya itu diduga korban pembunuhan karena di
tubuhnya ditemukan luka tusukan.
Korban ditemukan dalam posisi telungkup mengenakan baju kaos biru dan celana jeans pendek pada Jumat kemarin.
Usai identifikasi, jasad korban dievakuasi ke RSUD Dok II Jayapura untuk diautopsi.
Kapolsek Distrik Jayapura Utara, AKP Sawaki, Sabtu (20/10/2012), menjelaskan, dari hasil olah TKP sementara, pihaknya menemukan sedikitnya sembilan luka tusuk benda tajam. Korban diduga dibunuh di tempat lain dan dibuang di Angkasa Pura untuk menghilangkan jejak pelaku.
Selain itu, polisi menduga pelaku adalah orang yang mengenal korban. Motif sementara bukan perampokan karena tidak ada barang berharga milik korban, seperti kalung dan cincin emas, yang diambil pelaku.
Polisi mengaku kesulitan mengetahui pelaku karena belum mengetahui identitas korban.
Korban ditemukan dalam posisi telungkup mengenakan baju kaos biru dan celana jeans pendek pada Jumat kemarin.
Usai identifikasi, jasad korban dievakuasi ke RSUD Dok II Jayapura untuk diautopsi.
Kapolsek Distrik Jayapura Utara, AKP Sawaki, Sabtu (20/10/2012), menjelaskan, dari hasil olah TKP sementara, pihaknya menemukan sedikitnya sembilan luka tusuk benda tajam. Korban diduga dibunuh di tempat lain dan dibuang di Angkasa Pura untuk menghilangkan jejak pelaku.
Selain itu, polisi menduga pelaku adalah orang yang mengenal korban. Motif sementara bukan perampokan karena tidak ada barang berharga milik korban, seperti kalung dan cincin emas, yang diambil pelaku.
Polisi mengaku kesulitan mengetahui pelaku karena belum mengetahui identitas korban.
JAKARTA - Puluhan demonstrans yang menuntut amnesti untuk
mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhari, lari
tunggang-langgang. Mereka terkejut mendengar ledakan empat peluru gas air mata
milik seorang perwira polisi.
Peristiwa itu terjadi di depan gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (17/10/2012) siang, pukul 12.15 WIB.
Aksi sebelumnya berlangsung tertib. Demonstrasi yang digelar dari pukul 10.30 WIB itu dihadiri 50-an massa dari Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Peduli Hukum. Dalam orasinya, seorang demonstran, Ahmad Jauhari, menuntut agar Antasari Azhar diberi amnesti atau pengampunan dari tuduhan membunuh Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasruddin Zulkarnaen. Dia menduga Antazari hanya merupakah korban kriminalisasi kekuasaan.
"Upaya mengkriminalisasi itu makin nyata ketika semua proses hukum dijalankan dengan penuh manipulasi. Sampai saat ini, publik masih meraba-raba siapa dalang di balik kriminalisasi Antasari Azhar," kata Ahmad Jauhari. Lebih dari satu jam, demonstran menggelar orasi di depan gedung KPK. Puluhan perwira polisi tidak melakukan upaya penjagaan yang signifikan.
Mendadak, dari salah satu kantong celana perwira polisi terdengar empat suara ledakan. Kepala Pos Polisi (Kapospol) Setia Budi, Agus Subechi, mengatakan suara ledakan itu berasal dari peluru gas air mata yang kepanasan akibat terkena sengatan sinar matahari. "Itu peluru ada di kantong celana salah satu polisi," katanya.
Agus menegaskan, tidak ada maksud polisi membubarkan massa aksi. "Ini hanya kesalahan teknis, peluru ini memang macam petasan yang meledak ditengah panas,tidak ada maksud apa-apa dari kami," jelas dia.
Akibat ledakan itu, para demonstran sempat berlarian menjauh. Di antara mereka, bahkan sampai mengambil air kolam di sebelah gedung KPK. Mata mereka kepedihan akibat terkena asap gas air mata.
Seorang demonstran, Aji (24), mengaku terkejut dengan peristiwa tersebut. "Kejadiannya tepat di depan mata saya bang, tiba-tiba ada ledakan, saya kira itu petasan, tahu-tahu itu gas air mata," kata Aji.
Namun, Aji menuding polisi memang bersengaja menembakkan peluru gas air mata ke mereka. "Ini bukti kawan-kawan. Ini tidak meledak sendiri kawan. Ini tanda aparat kepolisian tak bekerja mengamankan aksi ini kawan-kawan," ketusnya sembari berorasi.
Peristiwa itu terjadi di depan gedung KPK, Jakarta Selatan, Rabu (17/10/2012) siang, pukul 12.15 WIB.
Aksi sebelumnya berlangsung tertib. Demonstrasi yang digelar dari pukul 10.30 WIB itu dihadiri 50-an massa dari Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Peduli Hukum. Dalam orasinya, seorang demonstran, Ahmad Jauhari, menuntut agar Antasari Azhar diberi amnesti atau pengampunan dari tuduhan membunuh Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasruddin Zulkarnaen. Dia menduga Antazari hanya merupakah korban kriminalisasi kekuasaan.
"Upaya mengkriminalisasi itu makin nyata ketika semua proses hukum dijalankan dengan penuh manipulasi. Sampai saat ini, publik masih meraba-raba siapa dalang di balik kriminalisasi Antasari Azhar," kata Ahmad Jauhari. Lebih dari satu jam, demonstran menggelar orasi di depan gedung KPK. Puluhan perwira polisi tidak melakukan upaya penjagaan yang signifikan.
Mendadak, dari salah satu kantong celana perwira polisi terdengar empat suara ledakan. Kepala Pos Polisi (Kapospol) Setia Budi, Agus Subechi, mengatakan suara ledakan itu berasal dari peluru gas air mata yang kepanasan akibat terkena sengatan sinar matahari. "Itu peluru ada di kantong celana salah satu polisi," katanya.
Agus menegaskan, tidak ada maksud polisi membubarkan massa aksi. "Ini hanya kesalahan teknis, peluru ini memang macam petasan yang meledak ditengah panas,tidak ada maksud apa-apa dari kami," jelas dia.
Akibat ledakan itu, para demonstran sempat berlarian menjauh. Di antara mereka, bahkan sampai mengambil air kolam di sebelah gedung KPK. Mata mereka kepedihan akibat terkena asap gas air mata.
Seorang demonstran, Aji (24), mengaku terkejut dengan peristiwa tersebut. "Kejadiannya tepat di depan mata saya bang, tiba-tiba ada ledakan, saya kira itu petasan, tahu-tahu itu gas air mata," kata Aji.
Namun, Aji menuding polisi memang bersengaja menembakkan peluru gas air mata ke mereka. "Ini bukti kawan-kawan. Ini tidak meledak sendiri kawan. Ini tanda aparat kepolisian tak bekerja mengamankan aksi ini kawan-kawan," ketusnya sembari berorasi.
JAKARTA - Kabar yang beredar bahwa Ketua Umum Partai
Demokrat, Anas Urbaningrum, akan ditetapkan sebagai tersangka bukan hanya
isapan jempol belaka.
Pengamat Politik dari Universitas Indonesia, Iberamsjah, mengaku jika dirinya juga mendapat kabar bahwa mantan Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PBHMI) itu akan menjalani kursi pesakitan.
"Saya dapat kabar Anas dan Andi akan segera jadi tersangka," ujar Iberamsjah saat dihubungiOkezone, Kamis (18/10/2012).
Kata dia, kali ini isu penetapan tersangka bukan hanya sekedar isu, tak seperti yang lalu Anas juga pernah dikabarkan akan segera menjadi tersangka. Menurutnya, KPK tak ada rasa sungkan dalam menetapkan Anas menjadi tersangka.
"Tidak untuk sekarang bukan isu lagi, tapi sudah jelas alur proses keterlibatan Anas dan Andi. Saya rasa KPK tidak ada masalah, karena bukti awal sudah kuat," tuturnya.
Terkait pernyataan Ketua Departemen Komunikasi dan Informasi Partai Demokarat, Ruhut Sitompul, bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah memiliki nama pengganti Anas, dia mengaku belum mendengar kabar tersebut.
Namun demikian, hal itu sudah sepantasnya dilakukan oleh seorang pendiri partai. Pasalnya, sudah terlalu banyak kader partai berlambang bintang Mercy itu yang terlibat korupsi. "Bendaharanya terlibat, Wakil Sekjennya juga, sehingga mau tidak mau SBY melakukan pembenahan," katanya.
Siapapun pengganti Anas kelak, sambungnya, harus berusaha kuat untuk mengembalikan citra partai yang rusak karena banyaknya kader yang terlibat korupsi. Jika tak bisa mengembalikan elektabilias partai, maka dipastikan Demokrat akan runtuh di Pemilu 2014 mendatang. "Mampu enggak noda-noda hitam partai itu dibersihkan," tutupnya.
Pengamat Politik dari Universitas Indonesia, Iberamsjah, mengaku jika dirinya juga mendapat kabar bahwa mantan Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PBHMI) itu akan menjalani kursi pesakitan.
"Saya dapat kabar Anas dan Andi akan segera jadi tersangka," ujar Iberamsjah saat dihubungiOkezone, Kamis (18/10/2012).
Kata dia, kali ini isu penetapan tersangka bukan hanya sekedar isu, tak seperti yang lalu Anas juga pernah dikabarkan akan segera menjadi tersangka. Menurutnya, KPK tak ada rasa sungkan dalam menetapkan Anas menjadi tersangka.
"Tidak untuk sekarang bukan isu lagi, tapi sudah jelas alur proses keterlibatan Anas dan Andi. Saya rasa KPK tidak ada masalah, karena bukti awal sudah kuat," tuturnya.
Terkait pernyataan Ketua Departemen Komunikasi dan Informasi Partai Demokarat, Ruhut Sitompul, bahwa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah memiliki nama pengganti Anas, dia mengaku belum mendengar kabar tersebut.
Namun demikian, hal itu sudah sepantasnya dilakukan oleh seorang pendiri partai. Pasalnya, sudah terlalu banyak kader partai berlambang bintang Mercy itu yang terlibat korupsi. "Bendaharanya terlibat, Wakil Sekjennya juga, sehingga mau tidak mau SBY melakukan pembenahan," katanya.
Siapapun pengganti Anas kelak, sambungnya, harus berusaha kuat untuk mengembalikan citra partai yang rusak karena banyaknya kader yang terlibat korupsi. Jika tak bisa mengembalikan elektabilias partai, maka dipastikan Demokrat akan runtuh di Pemilu 2014 mendatang. "Mampu enggak noda-noda hitam partai itu dibersihkan," tutupnya.
JAKARTA - Terpidana suap pengalokasian Dana Penyesuaian
Infrastruktur Daerah, Wa Ode Nurhayati, menyerang balik Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Bekas anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu
menuding institusi yang diketuai Abraham Samad itu cenderung melindungi para
koruptor.
"KPK secara tersirat melindungi (koruptor)," kata Wa Ode Nurhayati usai menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Selatan, Kamis (18/10/2012).
Wa Ode telah divonis Pengadilan hukuman enam tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan penjara. Dia dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap Rp6,25 miliar tiga pengusaha, Fahd El-Fouz, Paulus Nelwan, dan Abram Noach Mambu untuk memuluskan pengalokasian DPID dan tindak pidana pencucian uang.
Padahal, vonis yang diterima Wa Ode Nurhayati ini delapan tahun lebih ringan dari tuntutan jaksa. Namun, Wa Ode berkeberatan dengan vonis tersebut. "Saya dan penasehat hukum menyatakan banding," kata Wa Ode di persidangan.
Wa Ode mengaku siap menjalani kemungkinan terburuk dari keputusannya mengajukan banding. Dia menyatakan akan terus melakukan perlawanan hukum. "Sejak awal saya sudah Siap dengan resiko. Saya akan lakukan upaya hukum," tegasnya.
Wa Ode menegaskan tidak mau bekerjasama lagi dengan KPK dalam mengungkap praktek-prakter beroma korupsi di Senayan. "Sisi kemanusiaan saya tidak mau lagi," terangnya.
"KPK secara tersirat melindungi (koruptor)," kata Wa Ode Nurhayati usai menjalani sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Selatan, Kamis (18/10/2012).
Wa Ode telah divonis Pengadilan hukuman enam tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider enam bulan penjara. Dia dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap Rp6,25 miliar tiga pengusaha, Fahd El-Fouz, Paulus Nelwan, dan Abram Noach Mambu untuk memuluskan pengalokasian DPID dan tindak pidana pencucian uang.
Padahal, vonis yang diterima Wa Ode Nurhayati ini delapan tahun lebih ringan dari tuntutan jaksa. Namun, Wa Ode berkeberatan dengan vonis tersebut. "Saya dan penasehat hukum menyatakan banding," kata Wa Ode di persidangan.
Wa Ode mengaku siap menjalani kemungkinan terburuk dari keputusannya mengajukan banding. Dia menyatakan akan terus melakukan perlawanan hukum. "Sejak awal saya sudah Siap dengan resiko. Saya akan lakukan upaya hukum," tegasnya.
Wa Ode menegaskan tidak mau bekerjasama lagi dengan KPK dalam mengungkap praktek-prakter beroma korupsi di Senayan. "Sisi kemanusiaan saya tidak mau lagi," terangnya.
Metrotvnews.com,
Toraja: Warga Toraja masih mempertahankan ritual-ritual unik mereka.
Salah satunya ritual ada Toraja yang dikenal dengan nama tarik batu. Meskipun
berbagai alat modern sudah ada, ritual ini menggunakan tenaga manusia.
Ritual ini merupakan bagian dari upacara adat Rambu Solo atau pesta kematian jika ada bangsawan atau masyarakat dengan kasta tinggi di Toraja yang meninggal. Semakin tinggi kasta orang yang meninggal semakin besar pula batu yang ditanam. Ini untuk menggambarkan berpengaruhnya almarhum saat hidup dulu.
Meski sudah sangat jarang, ritual yang sudah ada sejak ratusan tahun silam itu saat ini masih tetap dijaga kelestariannya oleh masyarakat adat Toraja. (Aris Bafauzi/DOR)
Ritual ini merupakan bagian dari upacara adat Rambu Solo atau pesta kematian jika ada bangsawan atau masyarakat dengan kasta tinggi di Toraja yang meninggal. Semakin tinggi kasta orang yang meninggal semakin besar pula batu yang ditanam. Ini untuk menggambarkan berpengaruhnya almarhum saat hidup dulu.
Meski sudah sangat jarang, ritual yang sudah ada sejak ratusan tahun silam itu saat ini masih tetap dijaga kelestariannya oleh masyarakat adat Toraja. (Aris Bafauzi/DOR)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar