YANG
DISEBABKAN OLEH STROK ISKEMIK*)
Ikhwan
M.Said**)
1.
PENDAHULUAN
Bahasa adalah fungsi
luhur yang paling utama bagi manusia selain fungsi daya mengingat, persepsi,
kognisi, dan emosi. Kerusakan atau kelainan di otak dapat menimbulkan gangguan
kemampuan berbahasa yang disebut afasia. Afasia adalah gangguan kemampuan
berbahasa seseorang (baik lisan maupun tulis) yang disebabkan oleh gangguan
atau kerusakan di otak (Kusumoputro, 1999:22). Kerusakan otak itu sendiri dapat
disebabkan oleh berbagai macam penyakit, tetapi yang paling sering oleh
penyakit gangguan peredaran darah di otak
dan cedera otak (strok dan trauma) (Yunus, 1999:3).
Masih terbatasnya
perhatian orang terhadap afasia (khususnya di Indonesia) menjadi alasan
ketertarikan penulis untuk mengkajinya selain gaya berbicara para penderita
strok yang tampilan fisiologisnya berbeda dengan orang-orang normal. Seringkali
orang mengira mereka mengalami gangguan kejiwaan, padahal menderita afasia. Jumlah
penderita strok di tiga rumah sakit Makassar rata-rata 200 orang/bulan. Sekitar
12 hingga 15% dari mereka itu dapat mengalami afasia, suatu jumlah yang dapat
dikatakan cukup besar (Said, 2009:28). Untuk pengkajian ini penulis hanya
terfokus pada penderita afasia yang disebabkan oleh strok, khususnya strok
iskemik (nonhemorrhagic stroke = NHS). Afasia yang terjadi pada
mereka lebih disebabkan oleh adanya penyumbatan pada pembuluh darah sehingga
penyaluran darah ke otak mengalami gangguan. Dengan kata lain, mereka akan
mengalami gangguan berbahasa.
Afasia dapat
diklasifikasikan ke dalam berbagai jenis menurut sudut pandang yang
berbeda-beda. Untuk kepentingan kajian ini, penulis mengacu kepada penggolongan
afasia berdasarkan tingkat kelancaran verbal yang membedakan afasia lancar dan
afasia tidak lancar (fluent aphasia and
nonfluent aphasia) (Poerwadi, 1999:17). Di antara kedua jenis afasia
tersebut, terpilih jenis afasia tidak lancar sebagai objek kajian.
Sejumlah hal menarik dapat kita kaji
melalui tuturan verbal para penderita afasia. Salah satu di antaranya adalah
tingkat kelancaran verbal yang sekaligus menjadi permasalahan yang ingin
dibahas di sini. Untuk mengkaji secara mendalam tentang tingkat kelancaran
verbal mereka (termasuk penetapan jenis afasia apa yang diderita sesorang),
peranan keenam modalitas bahasa (yaitu berbicara spontan, menamai, memahami,
mengulang, membaca, dan menulis) tak dapat diabaikan. Hal ini dirasa perlu
untuk segera diungkap sehingga penulis memformulasikan judul tulisan ini
menjadi “Kompetensi Pembentukan Kalimat
Penderita Afasia Tidak Lancar yang Disebabkan oleh Strok Iskemik”.
Dari judul ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan “Bagaimana tingkat
kompetensi tiga dari enam modalitas bahasa (berbicara spontan, menamai, dan memahami) dalam pembentukan
kalimat oleh penderita afasia?”
2.
TINJAUAN TEORI
A R. Jakobson (1971)
mengatakan bahwa ahli bahasa harus bertanggung jawab dan sepatutnya mempunyai
peranan dalam penyelidikan afasia. Penemuan kekeliruan berbahasa pada
afasia akan memberikan pandangan baru terhadap kaidah bahasa secara umum
terutama oleh linguis dan neurolog.
Ada beberapa kajian yang perlu
dikemukakan berkaitan dengan penyelidikan yang akan dilakukan. Salah satu di
antaranya adalah J.I. Cummings. Cummings (2007:8) mengatakan bahwa afasia
merupakan gangguan semua kemampuan bertutur, yaitu: (1) gangguan pertuturan dan
pengenalan simbol, (2) kehilangan kemampuan membuat, menyatakan, dan
menghasilkan perkataan, (3) gangguan membaca dan menulis, (4) bukan merupakan
gangguan mekanisme neuromuskuler tuturan, misalnya disartria (cadel), dan (5)
bukan gangguan intelektual, misalnya demensia. Lebih lanjut, beliau
menyatakan bahwa sindrom afasia dapat menentukan letak gangguan di otak,
yaitu dengan mengkaji tanda atau gejala
yang
____________________
*) makalah disajikan
dalam Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 8, Sabtu, 24 April 2010
**) Dosen Fakultas
Sastra Universitas Hasanuddin, Makassstraar.
disebabkan
oleh penyakit atau kelainan.Adanya sindrom afasia pada seseorang penderita
menunjukkan suatu gangguan di hemisfer otak kiri yang secara fisik banyak
berkaitan dengan adanya kecekatan tangan kanan (righthander).
Pengkaji lain yang
perlu dikemukakan ialah Susan E. Kohn. Selain mengkhususkan perhatian
kepada aspek fonologi para penderita afasia, ada pernyataan penting dari Kohn
yang dapat dijadikan dasar penyelidikan ini, yaitu “tidak semua maksud dapat
dikenali pada pertuturan spontan, banyak pertuturan yang dapat dikumpulkan
tetapi banyak yang tidak logik” (Sastra, 2005:80).
Selain kedua pakar di
atas, ada satu tinjauan yang patut dikemukakan, yakni Sheila E. Blumstein. Ia
telah menyelidiki dan menjelaskan berbagai perkara yang berkaitan dengan
afasia. Di samping melakukan penyelidikan yang terfokus pada bidang fonologi
seperti halnya Kohn, ia juga memperkuat temuan Lecours dkk (1971). Blumstein
telah menyelidiki pula tentang pertuturan para penderita afasia yang
dirangkumnya dalam “Neurolingistics: An Overview of Language – Brain” (1994).
Berkaitan dengan penyelidikan ini, temuan Blumstein tentang pertuturan,
khususnya mengenai pembentukan kata juga dapat menjadi dasar acuan. Blumstein
mengatakan bahwa penderita afasia masih mampu menghasilkan kata-kata tunggal
bermakna walaupun tidak sefrekwentatif kata-kata jargon (leksikon yang tidak
bermakna) (Blumstein, 1994:19).
Penelitian dilaksanakan secara survei
deskriptif analitik melalui metode
kohort (cohort), yaitu metode
penelitian epidemologik yang digunakan untuk mempelajari dinamika korelasi
antara faktor-faktor resiko dan efek, dengan model pendekatan longitudinal ke
depan, pendekatan prospekstif (Pratiknya, 2003:184). Melalui pendekatan ini,
penulis
dapat mengetahui tingkat perkembangan kompetensi ketiga modalitas bahasa oleh penderita
afasia tidak lancar.
Secara keseluruhan penelitian ini mengambil lokasi Kota
Makassar. Secara khusus dilakukan di tiga rumah sakit (RS. Wahidin Sudirohusodo, RS Labuang Baji, dan
RS Pusat Stok Dadi). Waktu pelaksanaannya enam bulan (Februari s.d. Juli
2009). Sebanyak 30 orang informan
menjadi sampel penelitian yang harus memenuhi kriteria Inklusi (positif strok
iskemik, positif afasia tidak lancar, berjenis kelamin lelaki dan perempuan,
berusia 35 s.d. 75 tahun, menyatakan tidak berkeberatan disertakan dalam
penelitian, dan dapat berbahasa Indonesia). Penentuan sampel dilakukan
dengan teknik purposif atau emergent ‘mencuat’ (Alwasilah, 2003:72)
dengan rasio yang cukup proposional.
Terhadap ke-30 sampel tersebut
dilakukan pengambilan data secara bertahap masing-masing tiga kali. Tahap 1
adalah masa akut (yaitu 14 hari terhitung sejak serangan strok). Tahap 2 adalah
satu minggu pascaakut. Untuk Tahap 3 dilakukan satu bulan setelah Tahap 2.
Penggunaan teknik
interview (wawancara) tak terstruktur dan instrumen menjadi pilihan dalam
pengumpulan data di samping teknik elisitasi (pemancingan). Selain itu, teknik
perekaman akan sering digunakan secara bersamaan dengan tujuan pada saat
pengolahan datanya masih dapat didengar kembali tuturan mereka.
Data yang telah diperoleh
diberikan skor melalui dua bentuk; (1) skor kasar yaitu jumlah poin yang
diperoleh penderita (0 – 10) dan (2) skor norma, yaitu skor yang memberi ukuran
penilaian perkembangan kompetensi dengan merujuk ke Tes TADIR yakni dengan
menggunakan 5 angka seperti berikut:
Kategori
1 = tidak mungkin (sama sekali tak ada kemampuan bertutur = tak berkompetensi)
(0 poin)
Kategori
2 = sangat terganggu (1 – 3 poin)
Kategori
3 = terganggu (4 – 6 poin)
Kategori
4 = sedikit/agak terganggu (7 – 9 poin)
Kategori
5 = normal (10
poin)
Semua data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif
dan kualitatif. Semua analisis dilakukan dengan menggunakan Program SPSS versi 15,0. Setelah
selesai analisis kuantitatif, interpretasi segera dilakukan sebagai wujud
analisis kualitatif.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1) Kompetensi Pembentukan Kalimat yang Didasarkan
atas Berbicara Spontan (BS)
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 30
orang sampel terdistribusi ke dalam kategori
1 sebanyak 8 orang (26,7%) pada
Tahap 1, 6 orang (20%) pada Tahap 2, dan 2 orang (6,7%) pada Tahap 3. Untuk kategori 2 terdiri atas 20 orang (66,7%) pada Tahap 1, 20 orang (66,7%) juga pada
Tahap 2, dan 6 orang (20%) pada Tahap 3. Kategori
3 terdiri atas 2 orang (6,7%) pada Tahap 1, 4 orang (13,3%) pada Tahap 2,
dan 18 orang (60%) pada Tahap 3. Tidak ada penderita afasia yang mencapai kategori 4 pada Tahap 1 dan Tahap 2,
nanti pada Tahap 3 didapat 4 orang (13,3%). Kemudian, untuk kategori 5 sama sekali tidak ada hingga
Tahap 3.
Mengamati perubahan distribusi frekuensi dari tahap
ke tahap dan dari kategori ke kategori seperti di atas dapat dipahami sebagai
adanya perkembangan kompetensi pembentukan kalimat yang didasarkan atas berbicara
spontan bagi penderita afasia tidak lancar. Untuk kategori 1 yang pada Tahap 1 berjumlah 8 orang (misalnya), secara
berangsur-angsur berkurang pada tahap-tahap berikutnya. Demikian juga halnya
dengan kategori 2 yang meskipun tidak berkurang pada Tahap 2 tetapi
menurun drastis pada Tahap 3. Untuk kategori
4 yang pada tahap 1 dan Tahap 2 belum ada,
pada Tahap 3 terdapat 4 orang (13,3%). Untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada tampilan Tabel 1 berikut.
Grafik
Perkembangan Kompetensi Pembentukan kalimat berdasarkan Berbicara Spontan (BS)
Sesuai dengan pengklasifikasian kategori bahwa kategori 1 bermakna ‘tak ada
kompetensi’. Artinya, mereka yang berstatus pada kategori ini belum dapat menunjukkan
kemampuan terhadap ketiga modalitas bahasa yang dites (termasuk berbicara
spontan) seperti ini. Berdasarkan Tabel 1 di atas diketahui adanya perkembangan
kompetensi para informan. Misalnya, 2 dari
8 orang berstatus kategori 1
pada Tahap 1 naik ke kategori 2 pada Tahap 2 sehingga pada
tahap ini tersisa 6 orang. Kemudian, 4 dari 6 orang pada Tahap 2 tersebut naik ke
kategori 2 setelah memasuki Tahap3 sehingga pada tahap ini tersisa 2 orang
yang masih berstatus kategori 1.
Perubahan seperti ini jelas menandakan sebagian besar mereka mengalami
peningkatan kompetensi.
Satu minggu pascaakut
(Tahap 2), StR dan StM sudah dapat memberikan sedikit informasi dalam bentuk
kalimat-kalimat pendek dan tidak lengkap. Misalnya:
StR : [saya…bahu::n …ĵam (sambil
menggelengkan kepalanya)].
→ /Saya
bangun jam…/
[tidaq…tidaq ada (geleng
kepala)…nontonĵi].
/Tidak…tidak ada, nonton…/.
StM : [cəpaq… bahun…subuh.
tidak...ada bantu…cucuku].
/Cepat, bangun subuh. Tidak ada,
bantu cucuku/.
Terdapat 20 orang berstatus kategori 2 pada Tahap 1. Dua di antara
mereka naik ke kategori 3 ketika
memasuki Tahap 2. Memasuki Tahap 3,
perkembangan kompetensi pembentukan kalimat mereka sangat bagus karena 15 di
antaranya meningkat ke kategori 3 dan 3 orang bahkan melompat ke kategori 4. Berikut ini contoh
penuturan mereka.
MAG : [bahun…pagi…tak təntu
kumpul…kukumpul anak…latih].
/Bangun pagi tidak tentu. Mengumpulkan
anak-anak (anggota teater) berlatih/.
FA : [lama
sudah…saya sudah…pεnsiun.yah…olah raga… ĵalanĵalan…pagi].
→ /Lama, sudah saya sudah pensiun. Ya, olahraga
jalan-jalan pagi/.
SDgNg
: [tidak boleh bərĵa…tidak boleh
kərĵa…dilaraŋka. dimarai: …manantuku]
/Tidak boleh bekerja, dilarang.
Dimarahi menantuku/.
AR : [biasa…ke
kantor jalahka…kaki…
jalahkaki.
čapeq… capeka.]
→ /Biasa, ke kantor berjalan kaki. Capek,
capek/
ED : [bahun pagi… bahun pagiña toh…ratarata
ĵam ənam. sekalikali antar anaq keskolah. biasaña ibuña. naik pake motor. kadah pətεpətε].
→ /Bangun pagi rata-rata pukul 06.00,
Sekali-sekali antar anak-anak ke sekolah. Biasa pakai sepeda motor.
Kadang-kadang naik angkot/
HDgR : [apa
itu aktifita? oh…?biasaji bahun jahjah lima subuh.kan mauki òalatoh? malasĵaka
kerĵakerĵa ka sendiri disini].
→ /Apa
itu aktivitas? Oh… biasa bangun-bangun pukul lima karena mau shalat (subuh)
toh? Malas (saya) bekerja karena saya (tinggal) sendiri di sini (rumah)/.
Untuk kategori
3 benar-benar tampak perkembangan kompetensi berbicara spontan pada tingkat
pembentukan kalimat yang diperoleh mereka. Pada Tahap 1 hanya berjumlah 2 orang
(6,7%), terus meningkat menjadi 4 orang
(13,3%) pada Tahap 2. Kemudian pada Tahap 3, jumlah menjadi jauh lebih besar,
yaitu 18 orang (60%). Peningkatan hebat juga terjadi pada Tahap 3 karena ada 4
orang (13,3%) yang berstatus kategori 4
(sebagaimana dapat kita lihat pada contoh tuturan mereka di atas).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk kategori 1 Tahap 1 terdapat 19 orang (63,3%), Tahap 2 berkurang menjadi 12 orang
(40%), dan Tahap 3 tersisa 4 orang (13,3%). Ada penurunan distribusi frekuensi
dari tahap ke tahap yang berarti pada kategori yang lebih tinggi akan berlaku
sebaliknya, yaitu distribusi frekuensi yang meningkat dari tahap ke tahap. Hal
ini tampak pada Tahap 1 terdapat 11 orang (36,7%) dari 30 orang sampel yang
berstatus kategori 2 dan meningkat
menjadi 18 orang (60%) pada Tahap 2 walaupun memasuki Tahap 3 frekuensinya agak
menurun kembali, yakni 15 orang (50%). Untuk kategori 3 terdapat 10 orang
(13,3%) yang baru dicapai pada Tahap 3, sedangkan pada Tahap 1 dan Tahap 2
belum ada satu pun. Demikian pula untuk kategori
4, tidak dijumpai pada Tahap 1 dan Tahap 2. Setelah memasuki Tahap 3, hanya
terdapat 1 orang (3,3%) dari 30 orang sampel yang dapat mencapai kategori 4 dan sama sekali tidak ada
yang mencapai kategori 5. Hal ini
dapat diperjelas melalui tampilan Tabel 2 berikut.
.
Grafik Perkembangan Kompetensi
Pembentukan Kalimat Berdasarkan Menamai (MN)
Grafik pada Tabel 2 di atas tetap memperlihatkan
adanya perkembangan kompetensi menamai bagi penderita afasia tidak lancar. Perkembangan
terbanyak rata-rata terjadi pada Tahap 3 karena pada tahap ini ada yang
mencapai kategori 4. Sementara pada
Tahap 2 perkembangan yang terjadi berupa menurunnya distribusi frekuensi kategori 1 dan meningkatnya kategori 2. Misalnya, pada Tahap 1, 7 dari 19 orang yang berstatus kategori 1 naik ke kategori 2 dan hanya tersisa 4 orang pada Tahap 3. Satu
lagi bukti bahwa pada Tahap 2 terjadi perkembangan, yaitu terdapat 7 dari 12 orang
berstatus kategori 1 meningkat ke kategori 2 ditambah dengan 2 orang yang
melompat ke kategori 3 ketika
memasuki Tahap 3.
Untuk kategori
2, pada Tahap 1 hanya terdapat 11 orang dan jumlahnya meningkat menjadi 18
orang ketika memasuki Tahap 2. Ketika
memasuki Tahap 3, 8 orang dari ke-18 orang yang berstatus kategori 2 meningkat ke kategori
3, selebihnya tetap berstatus kategori
2, kecuali terdapat 1 orang yang justru menurun kembali ke kategori 1 dan 1 orang yang kompetensi menamai tingkat
kalimatnya melompat dari kategori 2 ke
kategori 4. Dengan demikian, yang
mencapai kategori 3 dan kategori 4 hingga pada Tahap 3 masing-masing berjumlah 10
dan 1 orang. Berikut beberapa contoh pertuturan mereka yang memperlihatkan
perkembangan kompetensi pembentukan kalimat.
/(Ada) dua pohon kelapa dan
buahnya juga. (Ada) pula rumah di tengahnya (di antara kedua pohan kelapa)/
MW
: [pohon…kəlapa
dua dəhan rumah].
/Ada
dua pohon kelapa dengan rumah/.
[anaq
pərεmpuan didiburu…digigit anĵih].
/anak perempuan digigit anjing/.
JF
: [popo…pəpo…pohon kəlapa. yah ini…ini…ini
rumahkan?]
/(Ada)
pohon kelapa. (Apakah) yang ini rumah?/
Tahap
3:
MW : [tak tau (sambil geleng-gelengkan
kepalanya)]
[a::…(menggelengkan
kepalanya)].
RA : [gambar
pohon kelapa….bεrbuah. bañak buahña. ada rumah pəndε?]
→ /(Ada) gambar pohon kelapa yang sedang
berbuah. Banyak buahnya. Ada rumah pendek/
[añjih keĵar anak. dia
lari…takut]. /Anjing mengejar anak-anak. Dia lari dan takut/.
UK : [saya liat ada dua pohon kəlapa. rumahña
puña satu pintu dan ĵεndəla. kəlapaña seperti tahgatahga. ada ĵuga buahña.
satu tiŋgi satu pεndək].
/Saya
melihat ada dua pohon kelapa. Rumahnya mempunyai satu pintu dan jendela.
(Pohon) kelapanya seperti tangga-tangga. Ada juga buahnya. Yang satu
(berukuran) tinggi dan yang satu pendek/.
[anaqanaq
lari dikəĵar anĵih.
perempuan orangña. dia pakε spatu hitam].
→ /Anak-anak berlari dikejar anjing. Perempuan orangnya. Dia memakai
sepatu hitam/.
Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa
kompetensi memahami tingkat kalimat bagi penderita afasia untuk kategori 1 pada Tahap 1 berjumlah 16
orang (53,3%), menurun menjadi 13 orang (43,3%) pada Tahap 2, dan menurun
drastis pada Tahap 3. Perubahan seperti ini jelas menunjukkan adanya
perkembangan yang sangat berarti bagi penderita afasia dalam hal memahami
tingkat kalimat. Dampak lebih lanjut dari perubahan tersebut tampak pada
peningkatan jumlah dari tahap ke tahap untuk kategori-kategori berikutnya.
Misalnya, untuk kategori 2 pada Tahap
1 berjumlah 14 orang (46,7%) dan sedikit bertambah memasuki Tahap 2
Belum ada penderita afasia yang berstatus kategori 3 pada Tahap 1. Memasuki Tahap
2 terdapat 1 orang (3,3%) saja, namun sampai pada Tahap 3 meningkat menjadi 9
orang (30%), sebuah perkembangan yang sangat berarti. Selanjutnya, untuk kategori 4 terdapat 3 orang (10%) yang
juga diperoleh pada Tahap 3. Seperti halnya pada modalitas-modalitas bahasa
yang lain, kompetensi (modalitas bahasa) memahami pada tingkat kalimat bagi
penderita afasia belum ada yang mencapai kategori
5. Agar jelas bagaimana perkembangan grafik kompetensi mereka tentang
memahami pada tingkat kalimat, dapat dilihat pada tampilan Tabel 3 berikut ini
Grafik
Perkembangan Kompetensi Pembentukan kalimat Berdasarkan Memahami (MP)
Melalui tampilan grafik di atas dapat diketahui
bahwa telah terjadi perkembangan kompetensi memahami pada tingkat kalimat bagi
penderita afasia. Perkembangan itu mulai tampak pada Tahap 2
karena pada tahap ini sudah terdapat 1 orang yang berstatus kategori 3. Berbeda dengan kompetensi
menamai yang baru diperoleh pada Tahap 3 untuk kategori yang sama. Kategori 4 juga sudah diperoleh pada Tahap 3, tetapi
belum ada untuk kategori 5.
Sebanyak 3 dari 16 orang pada Tahap 1 yang berstatus kategori 1 mengalami peningkatan
kompetensi memahami pada Tahap 2. Selebihnya tetap pada kategori semula. Akan
tetapi, pada Tahap 3 ke-13 orang yang masih berstatus kategori 1 tadi hampir semuanya meningkat ke kategori 2, kecuali 1 orang bahkan 3 orang di antaranya langsung
meningkat ke kategori 4. Perhatikan
contoh tuturan mereka berikut.
SG : [tidak, salah]. [bətul], [ular]
AR : [salah,
pa?], [yah…ular, pa?]
UK : [salah], [ular], [agustus]
AM : [bənar], [pεñčuri], [putəh]
SF
: [salah],
[bənar], [marεt]
(Semua
tuturan di atas merupakan jawaban atas pertanyaan yang ada dalam instrumen)
MR : [sallah], [bətul]
MW : [salah], [bətul], [pεnsil]
BH : [ya…didi…salah], [ya…yah bətul]
Sebanyak 14 orang pada Tahap 1 berstatus kategori 2 belum meningkat kompetensi
memahami mereka ketika sampai pada Tahap 2, kecuali 1 orang sehingga pada Tahap
2 jumlah mereka yang berstatus kategori
2 menjadi 16 orang setelah ditambahkan dengan mereka yang 3 orang dari kategori 1 tadi. Ketika memasuki Tahap
3, separuh dari ke-16 orang mengalami peningkatan dengan rincian 6 orang meningkat ke kategori 3 dan 2 orang langsung meningkat ke kategori 4. Perhatikan contoh berikut.
Tahap 2:
AF :
[salah], [bətul]
DS : [bayi ləbih kəcil], [bətul], [pεñčuri]
SDgNg : [bayi yah kəčil], [pahkəp dibawah maros],
[april]
MWs : [salah], [bətul pahkəp]
Tahap 3:
AF : [salah],
[bətul], [pεñčuri], [putih], [pεnsil]
DS :
[bayi yah
kəčil], [bətul], [pεñčuri], [kamis], [rabu]
SDgNg : [bayi lebih kečil], [bənar], [pεñčuri],
[putih], [pεnsil]
MWs :
[salah], [bətul], [pεñčuri] [pεnsil]
Untuk kategori
3 hanya terdapat 1 orang. Itu pun
didapat pada Tahap 2. Secara meyakinkan, satu orang pada Tahap 3 menjadi
meningkat kompetensi memahaminya sampai ke kategori
4 bersama-sama. Jawaban mereka
nyaris sempurna meskipun ada beberapa kata yang tidak keluar secara spontan.
Perhatikan contoh berikut.
ED : [salah],
[bətul], [pεñčuri], [ular], [rabu], [sebəlas], [ĵuni], [putih], [pεnsil]
FA : [salah], [bətul], [pεñčuri], [ular], [jumqat],
[duatuĵuh], [putih], [pεnsil]
AdS : [salah],
[betul, bənar takalar], [e…po…pεnčuri], [ular], [se…sεn…sənin], [putih],
[pεn…pεnsil tulis]
5.
PENUTUP
Dari uraian di atas
dapat ditarik dua kesimpulan, yaitu kesimpulan secara umum dan kesimpulan
secara khusus. Secara umum dapat disimpulkan bahwa didasarkan atas tiga
modalitas bahasa yang dikaji (berbicara spontan, menamai, dan memahami) dapat
diketahui perkembangan kompetensi pembentukan kalimat penderita afasia tidak
lancar rata-rata berkembang dari waktu ke waktu (dari tahap ke tahap). Selain
itu, secara kategorial taraf penguasaan modalitas mereka rata-rata berada pada kategori 3 (terganggu).
Secara khusus dapat
disimpulkan bahwa di antara ke-30 orang penderita afasia tidak lancar yang
dijadikan sampel tidak ada yang memiliki kompetensi sekaligus
ketiga modalitas bahasa yang dikaji. Mereka saling melengkapi, jika sebagiannya
menonjol pada kompetensi berbicara spontan, sebagian yang lainnya akan menonjol
pada kompetensi menamai dan atau memahami.
Disimpulkan pula bahwa di antara ketiga modalitas yang dikaji tersebut, menamai merupakan modalitas tersulit dicapai oleh
mereka karena hingga Tahap 3 hanya satu informan yang dapat mencapai kategori 4 (agak terganggu), sedangkan
modalitas berbicara spontan dan memahami lebih tinggi tingkat perkembangan kompetensinya.
DAFTAR PUSTAKA
Aliah, Amiruddin. 1998. “Problematic and Management of
the Acute Ischemic and Hemorrhagic Stroke.” (Makalah disampaikan dalam
Pertemuan Ilmiah Berkala XI FKUH). Fakultas Kedokteran Unhas, Makassar.
Alwasilah, A. Chaedar. 2003. Pokoknya
Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Cet. II.
Pustaka Jaya, Jakarta.
Basir,
Hasmawaty. 2002. “Faktor Prognostik Afasia Berdasarkan Tadir pada Penderita
Strok Akut di Beberapa Rumah Sakit Pendidikan di Kota Makassar.” (Tesis
Pascasarjana Universitas Hasanuddin). Program Pascasarjana Unhas, Makassar.
Basso,
Anna. 2003. Aphasia and its Therapy.
Oxford University Press, New York.
Blumstein,
Sheila E.. 1994. “Neurolinguistic: An Overview of Language – Brain” dalam Language: Psychological and Biological
Aspects, ed. F.J. Newmeyer, pp. 210-236. Cambridge University Press,
Cambridge.
Cumming, Louis. 2007. Pragmatik, Suatu Perspektif Multidisipliner.
(Penerjemah: Eti Setiawati dkk.). Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Dardjowidjojo, Soenjono. (Ed.). 1991. Linguistik
Neurologi. (Dalam PELLBA 4). Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya, Jakarta.
Dharmaperwira-Prins, Reni I.I.. 2000. TADIR: Tes
Afasia untuk Diagnosis Informasi Rehabilitasi. (Terjemahan Yita
Dharma-Hillyard). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Garraffa,
Maria. 2008. “Minimal Structures in Aphasia: A Study on Agreement and Movement
in a Non-Fluent Aphasic Speaker” (Article in Press dimuat dalam Jurnal Lingua
No. 1472). www.elsevier.com/locate/lingua.
Jakobson,
Roman. 1971. “Studies on Child Language.”
(Janua Linguarum Series Minor 72). The Hague Mouton, Mouton.
Kohn,
Susan E.. 1993. “Segmental Disorder in Aphasia” dalam Linguistics Disorders and Pathologies, ed. Gerhard Blanken, Jurgen
Dittmann, Hannelore Grimm, John C. Marshall, dan Claus W. Wallesch pp. 197-209.
Walter de Gruyter, New York/Berlin.
Kusumoputro,
Sidiarto. 1999. “Esesmen Afasia”. (Dimuat dalam Jurnal Neurona Vol. 16 No. 1-2
hal. 21-25). Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia, Jakarta.
Papagno,
Costanza & Annalisi Genoni. 2004. “The Role of Syntactic Competence in
Idiom Comprehension; A Study on Aphasic Patients.” (Dimuat dalam Journal of Neurolinguistics 17 pp.
371-382). www.elsevier.com/locate/jneuroling.
Pratiknya, Ahmad Watik, 2003. Dasar-dasar Metodologi
Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Cet. V. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Poerwadi,
Troeboes. 1999. “Definisi dan Klasifikasi Afasia.” (Dimuat dalam Jurnal Neurona
Vol. 16 N0. 1-2 hal. 11-20). Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia, Jakarta.
Said,
Ikhwan M. 2009a. “Perkembangan Kompetensi Berbahasa Penderita Afasia Tidak
Lancar yang Disebabkan oleh Strok Iskemik” (Disertasi).
Program Pascasarjana Unhas, Makassar.
___________.
2009b. “Polarisasi Sistem Leksikal pada Otak Manusia dari Aspek Semantik:
Kajian Komparatif Terhadap Kemampuan Bertutur Dua Penderita Afasia.” (Makalah
Disajikan dalam Seminar Serumpun IV UKM – Unhas di UKM Malaysia, 4-5 Juli
2009).
Sastra,
Gusdi.2005. “Ekspresi Verbal Penderita Strok dari Sudut Analisis
Neurolinguistik” (Disertasi). Universiti Putra Malaysia, Malaysia.
Suhardiyanto, Totok. 2006. “Bagaimana Kata Disimpan? Studi Terhadap Akses
Leksikal pada Penderita Afasia”. (Dalam Linguistik Indonesia, Jurnal Ilmiah MLI
Tahun ke-24 No. 2). MLI
– Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Yunus,
Syafruddin. 1999. “Anatomi dan Sindromologi Afasia.” (Dimuat dalam Jurnal
Neurona Vol. 16 N0. 1-2 hal 1-10). Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia, jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar