Rabu, 09 Januari 2013

Jurnal


YANG DISEBABKAN OLEH STROK ISKEMIK*)


Ikhwan M.Said**)

1.      PENDAHULUAN
Bahasa adalah fungsi luhur yang paling utama bagi manusia selain fungsi daya mengingat, persepsi, kognisi, dan emosi. Kerusakan atau kelainan di otak dapat menimbulkan gangguan kemampuan berbahasa yang disebut afasia. Afasia adalah gangguan kemampuan berbahasa seseorang (baik lisan maupun tulis) yang disebabkan oleh gangguan atau kerusakan di otak (Kusumoputro, 1999:22). Kerusakan otak itu sendiri dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit, tetapi yang paling sering oleh penyakit gangguan peredaran darah di otak  dan cedera otak (strok dan trauma) (Yunus, 1999:3).
Masih terbatasnya perhatian orang terhadap afasia (khususnya di Indonesia) menjadi alasan ketertarikan penulis untuk mengkajinya selain gaya berbicara para penderita strok yang tampilan fisiologisnya berbeda dengan orang-orang normal. Seringkali orang mengira mereka mengalami gangguan kejiwaan, padahal menderita afasia. Jumlah penderita strok di tiga rumah sakit Makassar rata-rata 200 orang/bulan. Sekitar 12 hingga 15% dari mereka itu dapat mengalami afasia, suatu jumlah yang dapat dikatakan cukup besar (Said, 2009:28). Untuk pengkajian ini penulis hanya terfokus pada penderita afasia yang disebabkan oleh strok, khususnya strok iskemik (nonhemorrhagic stroke = NHS). Afasia yang terjadi pada mereka lebih disebabkan oleh adanya penyumbatan pada pembuluh darah sehingga penyaluran darah ke otak mengalami gangguan. Dengan kata lain, mereka akan mengalami gangguan berbahasa.
Afasia dapat diklasifikasikan ke dalam berbagai jenis menurut sudut pandang yang berbeda-beda. Untuk kepentingan kajian ini, penulis mengacu kepada penggolongan afasia berdasarkan tingkat kelancaran verbal yang membedakan afasia lancar dan afasia tidak lancar (fluent aphasia and nonfluent aphasia) (Poerwadi, 1999:17). Di antara kedua jenis afasia tersebut, terpilih jenis afasia tidak lancar sebagai objek kajian.
            Sejumlah hal menarik dapat kita kaji melalui tuturan verbal para penderita afasia. Salah satu di antaranya adalah tingkat kelancaran verbal yang sekaligus menjadi permasalahan yang ingin dibahas di sini. Untuk mengkaji secara mendalam tentang tingkat kelancaran verbal mereka (termasuk penetapan jenis afasia apa yang diderita sesorang), peranan keenam modalitas bahasa (yaitu berbicara spontan, menamai, memahami, mengulang, membaca, dan menulis) tak dapat diabaikan. Hal ini dirasa perlu untuk segera diungkap sehingga penulis memformulasikan judul tulisan ini menjadi  “Kompetensi Pembentukan Kalimat  Penderita Afasia Tidak Lancar yang Disebabkan oleh Strok Iskemik”. Dari judul ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan “Bagaimana tingkat kompetensi tiga dari enam modalitas bahasa (berbicara spontan, menamai, dan  memahami) dalam pembentukan kalimat oleh penderita afasia?”

2.      TINJAUAN TEORI
            A R. Jakobson (1971) mengatakan bahwa ahli bahasa harus bertanggung jawab dan sepatutnya mempunyai peranan dalam penyelidikan afasia. Penemuan kekeliruan berbahasa pada afasia akan memberikan pandangan baru terhadap kaidah bahasa secara umum terutama oleh linguis dan neurolog.
            Ada beberapa kajian yang perlu dikemukakan berkaitan dengan penyelidikan yang akan dilakukan. Salah satu di antaranya adalah J.I. Cummings. Cummings (2007:8) mengatakan bahwa afasia merupakan gangguan semua kemampuan bertutur, yaitu: (1) gangguan pertuturan dan pengenalan simbol, (2) kehilangan kemampuan membuat, menyatakan, dan menghasilkan perkataan, (3) gangguan membaca dan menulis, (4) bukan merupakan gangguan mekanisme neuromuskuler tuturan, misalnya disartria (cadel), dan (5) bukan gangguan intelektual, misalnya demensia. Lebih lanjut, beliau menyatakan bahwa sindrom afasia dapat menentukan letak  gangguan  di  otak,  yaitu dengan mengkaji tanda atau gejala yang
  
____________________
*) makalah disajikan dalam Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 8, Sabtu, 24 April 2010
**) Dosen Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassstraar.
disebabkan oleh penyakit atau kelainan.Adanya sindrom afasia pada seseorang penderita menunjukkan suatu gangguan di hemisfer otak kiri yang secara fisik banyak berkaitan dengan adanya kecekatan tangan kanan (righthander).
Selain kedua pakar di atas, ada satu tinjauan yang patut dikemukakan, yakni Sheila E. Blumstein. Ia telah menyelidiki dan menjelaskan berbagai perkara yang berkaitan dengan afasia. Di samping melakukan penyelidikan yang terfokus pada bidang fonologi seperti halnya Kohn, ia juga memperkuat temuan Lecours dkk (1971). Blumstein telah menyelidiki pula tentang pertuturan para penderita afasia yang dirangkumnya dalam “Neurolingistics: An Overview of Language – Brain” (1994). Berkaitan dengan penyelidikan ini, temuan Blumstein tentang pertuturan, khususnya mengenai pembentukan kata juga dapat menjadi dasar acuan. Blumstein mengatakan bahwa penderita afasia masih mampu menghasilkan kata-kata tunggal bermakna walaupun tidak sefrekwentatif kata-kata jargon (leksikon yang tidak bermakna) (Blumstein, 1994:19).

Penelitian dilaksanakan secara survei deskriptif analitik melalui metode kohort (cohort), yaitu metode penelitian epidemologik yang digunakan untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dan efek, dengan model pendekatan longitudinal ke depan, pendekatan prospekstif (Pratiknya, 2003:184). Melalui pendekatan ini, penulis dapat mengetahui tingkat perkembangan kompetensi ketiga modalitas bahasa oleh penderita afasia tidak lancar.
Secara keseluruhan penelitian ini mengambil lokasi Kota Makassar. Secara khusus dilakukan di tiga rumah sakit (RS. Wahidin Sudirohusodo, RS Labuang Baji, dan RS Pusat Stok Dadi). Waktu pelaksanaannya enam bulan (Februari s.d. Juli 2009).  Sebanyak 30 orang informan menjadi sampel penelitian yang harus memenuhi kriteria Inklusi (positif strok iskemik, positif afasia tidak lancar, berjenis kelamin lelaki dan perempuan, berusia 35 s.d. 75 tahun, menyatakan tidak berkeberatan disertakan dalam penelitian, dan dapat berbahasa Indonesia). Penentuan sampel dilakukan dengan teknik purposif atau emergent ‘mencuat’ (Alwasilah, 2003:72) dengan rasio yang cukup proposional.
Terhadap ke-30 sampel tersebut dilakukan pengambilan data secara bertahap masing-masing tiga kali. Tahap 1 adalah masa akut (yaitu 14 hari terhitung sejak serangan strok). Tahap 2 adalah satu minggu pascaakut. Untuk Tahap 3 dilakukan satu bulan setelah Tahap 2.
Penggunaan teknik interview (wawancara) tak terstruktur dan instrumen menjadi pilihan dalam pengumpulan data di samping teknik elisitasi (pemancingan). Selain itu, teknik perekaman akan sering digunakan secara bersamaan dengan tujuan pada saat pengolahan datanya masih dapat didengar kembali tuturan mereka.
Data yang telah diperoleh diberikan skor melalui dua bentuk; (1) skor kasar yaitu jumlah poin yang diperoleh penderita (0 – 10) dan (2) skor norma, yaitu skor yang memberi ukuran penilaian perkembangan kompetensi dengan merujuk ke Tes TADIR yakni dengan menggunakan 5 angka seperti berikut:
Kategori 1 = tidak mungkin (sama sekali tak ada kemampuan bertutur = tak berkompetensi) (0 poin)
Kategori 2 = sangat terganggu (1 – 3 poin)
Kategori 3 = terganggu (4 – 6 poin)
Kategori 4 = sedikit/agak terganggu (7 – 9 poin)
Kategori 5 = normal (10 poin)
 Semua data yang diperoleh dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Semua analisis dilakukan dengan menggunakan Program SPSS versi 15,0. Setelah selesai analisis kuantitatif, interpretasi segera dilakukan sebagai wujud analisis kualitatif.
4.      HASIL DAN PEMBAHASAN

1)  Kompetensi Pembentukan Kalimat yang Didasarkan atas Berbicara Spontan (BS)
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa dari 30 orang sampel terdistribusi ke dalam kategori 1  sebanyak 8 orang (26,7%) pada Tahap 1, 6 orang (20%) pada Tahap 2, dan 2 orang (6,7%) pada Tahap 3. Untuk kategori 2 terdiri atas 20 orang (66,7%) pada Tahap 1, 20 orang (66,7%) juga pada Tahap 2, dan 6 orang (20%) pada Tahap 3. Kategori 3 terdiri atas 2 orang (6,7%) pada Tahap 1, 4 orang (13,3%) pada Tahap 2, dan 18 orang (60%) pada Tahap 3. Tidak ada penderita afasia yang mencapai kategori 4 pada Tahap 1 dan Tahap 2, nanti pada Tahap 3 didapat 4 orang (13,3%). Kemudian, untuk kategori 5 sama sekali tidak ada hingga Tahap 3.
Mengamati perubahan distribusi frekuensi dari tahap ke tahap dan dari kategori ke kategori seperti di atas dapat dipahami sebagai adanya perkembangan kompetensi pembentukan kalimat yang didasarkan atas berbicara spontan bagi penderita afasia tidak lancar. Untuk kategori 1 yang pada Tahap 1 berjumlah 8 orang (misalnya), secara berangsur-angsur berkurang pada tahap-tahap berikutnya. Demikian juga halnya dengan  kategori 2 yang meskipun tidak berkurang pada Tahap 2 tetapi menurun drastis pada Tahap 3. Untuk kategori 4 yang pada tahap 1 dan Tahap 2 belum ada,  pada Tahap 3 terdapat 4 orang (13,3%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tampilan Tabel 1 berikut.

      
Grafik Perkembangan Kompetensi Pembentukan kalimat berdasarkan Berbicara Spontan (BS)

Sesuai dengan pengklasifikasian kategori bahwa kategori 1 bermakna ‘tak ada kompetensi’. Artinya, mereka yang berstatus pada kategori ini belum dapat menunjukkan kemampuan terhadap ketiga modalitas bahasa yang dites (termasuk berbicara spontan) seperti ini. Berdasarkan Tabel 1 di atas diketahui adanya perkembangan kompetensi para informan. Misalnya, 2 dari  8 orang berstatus kategori 1 pada Tahap 1  naik ke kategori 2 pada Tahap 2 sehingga pada tahap ini tersisa 6 orang. Kemudian, 4 dari 6 orang pada Tahap 2 tersebut  naik ke kategori 2 setelah memasuki Tahap3 sehingga pada tahap ini tersisa 2 orang yang masih berstatus kategori 1. Perubahan seperti ini jelas menandakan sebagian besar mereka mengalami peningkatan kompetensi.
StR  :      [saya…bahu::n …ĵam (sambil menggelengkan kepalanya)].
                 /Saya bangun jam…/
              [tidaq…tidaq ada (geleng kepala)…nontonĵi].
              /Tidak…tidak ada, nonton…/.
StM   :     [cəpaq… bahun…subuh. tidak...ada  bantu…cucuku].
              /Cepat, bangun subuh. Tidak ada, bantu cucuku/.
MAG  :  [bahun…pagi…tak təntu kumpul…kukumpul anak…latih].
               /Bangun pagi tidak tentu. Mengumpulkan anak-anak (anggota    teater) berlatih/.
FA      : [lama sudah…saya sudah…pεnsiun.yah…olah raga… ĵalanĵalan…pagi]. 
                 /Lama, sudah saya sudah pensiun. Ya, olahraga jalan-jalan pagi/.
SDgNg :    [tidak boleh bərĵa…tidak boleh kərĵa…dilaraŋka. dimarai: …manantuku]
              /Tidak boleh bekerja, dilarang. Dimarahi menantuku/.
AR    :    [biasa…ke kantor jalahka…kaki… jalahkaki. čapeq… capeka.]
               → /Biasa, ke kantor berjalan kaki. Capek, capek/
ED    :    [bahun pagi… bahun pagiña toh…ratarata ĵam ənam. sekalikali antar anaq keskolah. biasaña ibuña. naik pake motor. kadah pətεpətε].
                 /Bangun pagi rata-rata pukul 06.00, Sekali-sekali antar anak-anak ke sekolah. Biasa pakai sepeda motor. Kadang-kadang naik angkot/
HDgR :     [apa itu aktifita? oh…?biasaji bahun jahjah lima subuh.kan   mauki òalatoh? malasĵaka kerĵakerĵa ka sendiri disini].
                 /Apa itu aktivitas? Oh… biasa bangun-bangun pukul lima karena mau shalat (subuh) toh? Malas (saya) bekerja karena saya (tinggal) sendiri di sini (rumah)/.
Untuk kategori 3 benar-benar tampak perkembangan kompetensi berbicara spontan pada tingkat pembentukan kalimat yang diperoleh mereka. Pada Tahap 1 hanya berjumlah 2 orang (6,7%),  terus meningkat menjadi 4 orang (13,3%) pada Tahap 2. Kemudian pada Tahap 3, jumlah menjadi jauh lebih besar, yaitu 18 orang (60%). Peningkatan hebat juga terjadi pada Tahap 3 karena ada 4 orang (13,3%) yang berstatus kategori 4 (sebagaimana dapat kita lihat pada contoh tuturan mereka di atas).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk kategori 1 Tahap 1 terdapat 19 orang (63,3%), Tahap 2 berkurang menjadi 12 orang (40%), dan Tahap 3 tersisa 4 orang (13,3%). Ada penurunan distribusi frekuensi dari tahap ke tahap yang berarti pada kategori yang lebih tinggi akan berlaku sebaliknya, yaitu distribusi frekuensi yang meningkat dari tahap ke tahap. Hal ini tampak pada Tahap 1 terdapat 11 orang (36,7%) dari 30 orang sampel yang berstatus kategori 2 dan meningkat menjadi 18 orang (60%) pada Tahap 2 walaupun memasuki Tahap 3 frekuensinya agak menurun kembali, yakni 15 orang (50%). Untuk kategori 3  terdapat 10 orang (13,3%) yang baru dicapai pada Tahap 3, sedangkan pada Tahap 1 dan Tahap 2 belum ada satu pun. Demikian pula untuk kategori 4, tidak dijumpai pada Tahap 1 dan Tahap 2. Setelah memasuki Tahap 3, hanya terdapat 1 orang (3,3%) dari 30 orang sampel yang dapat mencapai kategori 4 dan sama sekali tidak ada yang mencapai kategori 5. Hal ini dapat diperjelas melalui tampilan Tabel 2 berikut.
.
                       
Grafik Perkembangan Kompetensi Pembentukan Kalimat Berdasarkan Menamai (MN)

Untuk kategori 2, pada Tahap 1 hanya terdapat 11 orang dan jumlahnya meningkat menjadi 18 orang ketika memasuki Tahap 2. Ketika memasuki Tahap 3, 8 orang dari ke-18 orang yang berstatus kategori 2 meningkat ke kategori 3, selebihnya tetap berstatus kategori 2, kecuali terdapat 1 orang yang justru menurun kembali ke kategori 1  dan 1 orang yang kompetensi menamai tingkat kalimatnya melompat dari kategori 2 ke kategori 4. Dengan demikian, yang mencapai kategori 3 dan kategori 4  hingga pada Tahap 3 masing-masing berjumlah 10 dan 1 orang. Berikut beberapa contoh pertuturan mereka yang memperlihatkan perkembangan kompetensi pembentukan kalimat.
RA   :     [dua…pohoh kəlapa…buahña ĵuga. rumah di…tε…təhahña]
              /(Ada) dua pohon kelapa dan buahnya juga. (Ada) pula rumah di tengahnya (di antara kedua pohan kelapa)/
MW :     [pohon…kəlapa dua dəhan rumah].
              /Ada dua pohon kelapa dengan rumah/.
              [anaq pərεmpuan didiburu…digigit anĵih].
               /anak perempuan digigit anjing/.
  JF   :     [popo…pəpo…pohon kəlapa. yah ini…ini…ini rumahkan?]
              /(Ada) pohon kelapa. (Apakah) yang ini rumah?/
Tahap 3:
MW :     [tak tau (sambil geleng-gelengkan kepalanya)]
              [a::…(menggelengkan kepalanya)].
RA  :      [gambar pohon kelapa….bεrbuah. bañak buahña. ada rumah pəndε?]
                  /(Ada) gambar pohon kelapa yang sedang berbuah. Banyak buahnya. Ada rumah pendek/
              [añjih keĵar anak. dia lari…takut]. /Anjing mengejar anak-anak. Dia lari dan takut/.
UK :       [saya liat ada dua pohon kəlapa. rumahña puña satu pintu dan ĵεndəla. kəlapaña seperti tahgatahga. ada ĵuga buahña. satu tiŋgi satu pεndək].
              /Saya melihat ada dua pohon kelapa. Rumahnya mempunyai satu pintu dan jendela. (Pohon) kelapanya seperti tangga-tangga. Ada juga buahnya. Yang satu (berukuran) tinggi dan yang satu pendek/.
              [anaqanaq lari dikəĵar anĵih. perempuan orangña. dia pakε spatu hitam].   → /Anak-anak berlari dikejar anjing. Perempuan orangnya. Dia memakai sepatu hitam/.

Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa kompetensi memahami tingkat kalimat bagi penderita afasia untuk kategori 1 pada Tahap 1 berjumlah 16 orang (53,3%), menurun menjadi 13 orang (43,3%) pada Tahap 2, dan menurun drastis pada Tahap 3. Perubahan seperti ini jelas menunjukkan adanya perkembangan yang sangat berarti bagi penderita afasia dalam hal memahami tingkat kalimat. Dampak lebih lanjut dari perubahan tersebut tampak pada peningkatan jumlah dari tahap ke tahap untuk kategori-kategori berikutnya. Misalnya, untuk kategori 2 pada Tahap 1 berjumlah 14 orang (46,7%) dan sedikit bertambah memasuki Tahap 2
Belum ada penderita afasia yang berstatus kategori 3 pada Tahap 1. Memasuki Tahap 2 terdapat 1 orang (3,3%) saja, namun sampai pada Tahap 3 meningkat menjadi 9 orang (30%), sebuah perkembangan yang sangat berarti. Selanjutnya, untuk kategori 4 terdapat 3 orang (10%) yang juga diperoleh pada Tahap 3. Seperti halnya pada modalitas-modalitas bahasa yang lain, kompetensi (modalitas bahasa) memahami pada tingkat kalimat bagi penderita afasia belum ada yang mencapai kategori 5. Agar jelas bagaimana perkembangan grafik kompetensi mereka tentang memahami pada tingkat kalimat, dapat dilihat pada tampilan Tabel 3 berikut ini

                            
Grafik Perkembangan Kompetensi Pembentukan kalimat Berdasarkan Memahami (MP)

Sebanyak 3 dari 16 orang pada Tahap 1 yang berstatus kategori 1 mengalami peningkatan kompetensi memahami pada Tahap 2. Selebihnya tetap pada kategori semula. Akan tetapi, pada Tahap 3 ke-13 orang yang masih berstatus kategori 1 tadi hampir semuanya meningkat ke kategori 2, kecuali 1 orang bahkan 3 orang di antaranya langsung meningkat ke kategori 4. Perhatikan contoh tuturan mereka berikut.
SG     :    [tidak, salah]. [bətul], [ular]
AR    :     [salah, pa?], [yah…ular, pa?]
UK    :     [salah], [ular], [agustus]
AM   :     [bənar], [pεñčuri], [putəh]
SF     :     [salah], [bənar], [marεt]
(Semua tuturan di atas merupakan jawaban atas pertanyaan yang ada dalam instrumen)
MR   :     [sallah], [bətul]
MW  :    [salah], [bətul], [pεnsil]
BH    :    [ya…didi…salah], [ya…yah bətul]
Sebanyak 14 orang pada Tahap 1 berstatus kategori 2 belum meningkat kompetensi memahami mereka ketika sampai pada Tahap 2, kecuali 1 orang sehingga pada Tahap 2 jumlah mereka yang berstatus kategori 2 menjadi 16 orang setelah ditambahkan dengan mereka yang 3 orang dari kategori 1 tadi. Ketika memasuki Tahap 3, separuh dari ke-16 orang mengalami peningkatan dengan rincian 6 orang  meningkat ke kategori 3 dan 2 orang langsung meningkat ke kategori 4. Perhatikan contoh berikut.
Tahap 2:
AF        :   [salah], [bətul]
DS        :    [bayi ləbih kəcil], [bətul], [pεñčuri]
SDgNg :     [bayi yah kəčil], [pahkəp dibawah maros], [april]
MWs    :     [salah], [bətul pahkəp]

Tahap 3:
AF        :   [salah], [bətul], [pεñčuri], [putih], [pεnsil]
DS        :  [bayi yah kəčil], [bətul], [pεñčuri], [kamis], [rabu]
SDgNg :  [bayi lebih kečil], [bənar], [pεñčuri], [putih], [pεnsil]
MWs    :  [salah], [bətul], [pεñčuri] [pεnsil]
Untuk kategori 3 hanya terdapat 1 orang. Itu pun didapat pada Tahap 2. Secara meyakinkan, satu orang pada Tahap 3 menjadi meningkat kompetensi memahaminya sampai ke kategori 4  bersama-sama. Jawaban mereka nyaris sempurna meskipun ada beberapa kata yang tidak keluar secara spontan. Perhatikan contoh berikut.
ED      : [salah], [bətul], [pεñčuri], [ular], [rabu], [sebəlas], [ĵuni], [putih], [pεnsil]
FA      : [salah], [bətul], [pεñčuri], [ular], [jumqat], [duatuĵuh], [putih], [pεnsil]
AdS  :    [salah], [betul, bənar takalar], [e…po…pεnčuri], [ular], [se…sεn…sənin], [putih], [pεn…pεnsil tulis]


DAFTAR PUSTAKA
Aliah, Amiruddin. 1998. “Problematic and Management of the Acute Ischemic and Hemorrhagic Stroke.” (Makalah disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Berkala XI FKUH). Fakultas Kedokteran Unhas, Makassar.
Alwasilah, A. Chaedar. 2003. Pokoknya Kualitatif: Dasar-dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Cet. II. Pustaka Jaya, Jakarta.
Basir, Hasmawaty. 2002. “Faktor Prognostik Afasia Berdasarkan Tadir pada Penderita Strok Akut di Beberapa Rumah Sakit Pendidikan di Kota Makassar.” (Tesis Pascasarjana Universitas Hasanuddin). Program Pascasarjana Unhas, Makassar.
Basso, Anna. 2003. Aphasia and its Therapy. Oxford University Press, New York.
Blumstein, Sheila E.. 1994. “Neurolinguistic: An Overview of Language – Brain” dalam Language: Psychological and Biological Aspects, ed. F.J. Newmeyer, pp. 210-236. Cambridge University Press, Cambridge.
Cumming, Louis. 2007. Pragmatik, Suatu Perspektif Multidisipliner. (Penerjemah: Eti Setiawati dkk.). Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Dardjowidjojo, Soenjono. (Ed.). 1991. Linguistik Neurologi. (Dalam PELLBA 4). Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya, Jakarta.
Dharmaperwira-Prins, Reni I.I.. 2000. TADIR: Tes Afasia untuk Diagnosis Informasi Rehabilitasi. (Terjemahan Yita Dharma-Hillyard). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Garraffa, Maria. 2008. “Minimal Structures in Aphasia: A Study on Agreement and Movement in a Non-Fluent Aphasic Speaker” (Article in Press dimuat dalam Jurnal Lingua No. 1472). www.elsevier.com/locate/lingua.
Jakobson, Roman. 1971. “Studies on Child Language.” (Janua Linguarum Series  Minor 72). The Hague Mouton, Mouton.
Kohn, Susan E.. 1993. “Segmental Disorder in Aphasia” dalam Linguistics Disorders and Pathologies, ed. Gerhard Blanken, Jurgen Dittmann, Hannelore Grimm, John C. Marshall, dan Claus W. Wallesch pp. 197-209. Walter de Gruyter, New York/Berlin.
Kusumoputro, Sidiarto. 1999. “Esesmen Afasia”. (Dimuat dalam Jurnal Neurona Vol. 16 No. 1-2 hal. 21-25). Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia, Jakarta.
Papagno, Costanza & Annalisi Genoni. 2004. “The Role of Syntactic Competence in Idiom Comprehension; A Study on Aphasic Patients.” (Dimuat dalam Journal of Neurolinguistics 17 pp. 371-382). www.elsevier.com/locate/jneuroling.
Pratiknya, Ahmad Watik, 2003. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Cet. V. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Poerwadi, Troeboes. 1999. “Definisi dan Klasifikasi Afasia.” (Dimuat dalam Jurnal Neurona Vol. 16 N0. 1-2 hal. 11-20). Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia, Jakarta.
Said, Ikhwan M. 2009a. “Perkembangan Kompetensi Berbahasa Penderita Afasia Tidak Lancar yang Disebabkan oleh Strok Iskemik” (Disertasi). Program Pascasarjana Unhas, Makassar.
___________. 2009b. “Polarisasi Sistem Leksikal pada Otak Manusia dari Aspek Semantik: Kajian Komparatif Terhadap Kemampuan Bertutur Dua Penderita Afasia.” (Makalah Disajikan dalam Seminar Serumpun IV UKM – Unhas di UKM Malaysia, 4-5 Juli 2009).
Sastra, Gusdi.2005. “Ekspresi Verbal Penderita Strok dari Sudut Analisis Neurolinguistik” (Disertasi). Universiti Putra Malaysia, Malaysia.
Suhardiyanto, Totok. 2006. “Bagaimana Kata Disimpan? Studi Terhadap Akses Leksikal pada Penderita Afasia”. (Dalam Linguistik Indonesia, Jurnal Ilmiah MLI Tahun ke-24 No. 2). MLI – Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Yunus, Syafruddin. 1999. “Anatomi dan Sindromologi Afasia.” (Dimuat dalam Jurnal Neurona Vol. 16 N0. 1-2 hal 1-10). Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia, jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar